Kyung-joon memastikan kalau ia akan menghilang dari pandangan Da-ran setelah Yoon-jae kembali. Ia akan hidup dengan baik di suatu tempat, jadi Da-ran cukup mengkhawatirkan Yoon-jae saja. Kyung-joon beranjak pergi.
Da-ran menahannya. Ia bertanya apakah Kyung-joon benar-benar akan menghilang?
“Kenapa? Kau mau ikut denganku?”
Da-ran tak bisa menjawab.
“Aku akan membawamu pergi jika kau sedih seperti ini,” ancam Kyung-joon. Da-ran melepaskan pegangannya di tangan Kyung-joon. Kyung-joon mendudukkan Da-ran kembali di bangku taman, lalu mengikat tali sepatunya.
“Ikat erat-erat dan jangan melihat ke belakang, pada Kang Kyung-joon yang akan pergi menjauh. Gil Teacher, pergilah ke tempat kau harus pergi. Sampai saat itu tiba, mari kita jalani bersama dengan baik.”
Da-ran akhirnya mengiyakan perkataan Kyung-joon. Kyung-joon berkata wajah Da-ran yang seperti sedang sekarat, membuatnya khawatir. Anak kecil mengkhawatirkan orang dewasa, sungguh menyusahkan.
“Benar, aku seharusnya tidak seperti ini di hadapanmu. Aku harus berpegang pada akal sehatku kuat-kuat.”
Da-ran bangkit berdiri dan bertanya apakah Kyung-joon sudah mengikat tali sepatunya kuat-kuat. Kyung-joon berkata ia sudah mengikatnya superkuat. Da-ran berkata kalau begitu seharusnya ikatannya tidak terlepas lagi (seharusnya perasaannya tidak tergoyahkan lagi). Da-ran mengajak Kyung-joon pulang. Walau ia berkata dirinya tidak apa-apa tapi ekspresi wajahnya menunjukkan sebaliknya.
Percakapan mereka berlanjut di rumah. Kyung-joon melihat Da-ran makan ramen terburu-buru. Ia khawatir Da-ran akan tersedak. Da-ran tidak ingin Kyung-joon mengkhawatirkannya karena akan membebani Kyung-joon.
Kyung-joon bertanya mengapa ia dianggap begitu membebani. Apa karena dirinya masih muda? Tak peduli usia seseorang, asalkan ia tampan, pintar dan kaya, pasti bisa menjalani hidupnya dengan baik.
Da-ran berkata Kyung-joon akan hidup sendirian setelah kembali ke tubuhnya. Kyung-joon berkata Da-ran tidak perlu khawatir mengenai hal itu. Ia menunjukkan buklet pameran lukisan Prof. Park. Ia akan mencari ayahnya.
Ma-ri menjadi paparazzi. Ia diam-diam mengawasi dan memotret gerak-gerik Prof. Park. Tentu saja ia tidak sendirian, Choong-sik menemaninya. Mereka berdua mengenakan kacamata hitam dan menutupi rambut mereka. Choong-sik memuji Ma-ri seperti paparazzi profesional.
Ma-ri berkata ia menjadi ahli karena terbiasa mengikuti Kyung-joon. Ia melihat Prof. Park berbicara dengan seorang pria. Ia adalah ayah Yoon-jae. Ma-ri tidak melihat wajahnya karena ayah Yoon-jae berdiri membelakanginya.
Ayah Yoon-jae menanyakan tentang ayah Ma-ri pada Prof. Park. Ia bertanya apakah Prof masih ingat dengan pria yang akan menikah dengan ibu Kyung-joon. Ia tak tahu cara lain untuk menemukan Kyung-joon selain melalui pria itu. Prof berkata ia ingat pria itu memiliki seorang puteri seusia Kyung-joon. Dan nama puteri pria itu adalah Ma-ri.
Ma-ri terus memotret. Ayah Yoon-jae berbalik dan Ma-ri sempat mengambil fotonya.
Ibu Yoon-jae mengatur pertemuan antara “Yoon-jae” dengan ayahnya. Sambil menunggu Yoon-jae datang, ia mengingatkan suaminya untuk tidak bertengkar di depan “Yoon-jae”. Ayah Yoon-jae malah membicarakan Kyung-joon. Ia yakin bisa menemukan Kyung-joon karena Kyung-joon ada di Korea.
Kyung-joon dan Da-ran telah tiba di lobi hotel tempat ibu Da-ran menginap. Kyung-joon berkata ini pertama kalinya ia akan bertemu dengan ayah Yoon-jae. Selama ini ibu Yoon-jae tidak ingin “Yoon-jae” bertemu ayahnya. Bagi Kyung-joon hal itu melegakan.
Da-ran berkata ia pernah melihat ayah Yoon-jae. Ia merasa ayah Yoon-jae seorang yang sangat pendiam dan sulit diajak bicara. Ayah Yoon-jae juga seorang dokter.
Ibu Yoon-jae marah karena mengira suaminya datang ke Korea karena Kyung-joon. Ia meminta suaminya tidak membicarakan Kyung-joon dengan “Yoon-jae”.
“Dia adik Yoon-jae dan juga puteramu. Apakah kau tidak merasa kasihan pada anak itu yang mungkin sedang sendirian saat ini?” tanya ayah Yoon-jae.
Ibu Yoon-jae melihat foto ibu Kyung-joon tersembul dari agenda suaminya dan mengambilnya. Ia berkata anak itu bukan anaknya, melainkan anak Kang Hee-soo (ibu Kyung-joon).
Kyung-joon akhirnya mengaku pada Da-ran kalau ia penasaran pria seperti apa yang dicintai oleh ibunya.
Ayah Yoon-jae berkata ibu Yoon-jae yang meminta ibu Kyung-joon untuk mengandung bayi mereka. Dengan dingin ibu Yoon-jae berkata ia tidak membutuhkan anak itu, ia hanya membutuhkan plasentanya. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan Yoon-jae. Dan lagi bukankah ayah Yoon-jae juga setuju saat itu? Ayah Yoon-jae tampak merasa bersalah.
Ibu Yoon-jae bertanya pada suaminya apakah suaminya memiliki keberanian untuk mengatakan cinta pada anak itu. Anak itu ada bukan karena cinta, tapi karena kebutuhan. Dan anak itu (Kyung-joon) telah dicampakkan pada wanita itu (ibu Kyung-joon).
Sementara itu Kyung-joon dan Da-ran berjalan menyusuri lobi hotel. Mereka melihat gambar malaikat di dompet Kyung-joon. Kyung-joon berkata ayahnya pasti ingin mencarinya hingga meninggalkan gambar itu. Ia yakin ibunya dan ayahnya saling mencintai.
“Tapi kenapa ada dua gambar malaikat? Mungkinkah mereka bersaudara?” tanya Da-ran.
“Saudara? Mungkin saja,” kata Kyung-joon.
Ibu Yoon-jae meminta suaminya berjanji tidak akan pernah memberitahu ‘Yoon-jae’ mengenai Kyung-joon. Ayah Yoon-jae berkata ia tidak akan menyinggung hal yang tidak ‘Yoon-jae’ ingat. Ia menyelipkan kembali foto ibu Kyung-joon ke dalam agendanya.
Ayah dan ibu Yoon-jae menemui Da-ran dan Kyung-joon. Ibu Yoon-jae bersikap sangat ramah. Ayah Yoon-jae tersenyum melihat “putera”nya. Kyung-joon menyapa ayahnya dengan kikuk.
Da-ran mengangguk memberi hormat pada mertuanya. Ayah Yoon-jae meminta maaf karena tidak bisa menghadiri pernikahan mereka. Ibu Yoon-jae teringat kalau ayah Yoon-jae telah menyiapkan hadiah pernikahan untuk putera satu-satunya (sigh >,<). Ia mengajak keduanya naik sebentar ke kamarnya.
Kyung-joon dan Da-ran ikut naik ke atas. Ayah Yoon-jae meminta maaf pada puteranya karena tidak datang saat tahu ‘Yoon-jae’ mengalami kecelakaan. Ia bertanya apakah ‘Yoon-jae’ baik-baik saja.
“Aku masih belum pulih sepenuhnya. Walau Ayah adalah ayahku, aku merasa kita baru pertama kali bertemu.”
“Segalanya akan membaik. Kita adalah ayah dan anak, bagaimana bisa merasa asing satu sama lain?”
“Karena aku satu-satunya putera kalian, aku pasti sangat berarti bagi kalian.”
“Anak satu-satunya?” tanya ayah Yoon-jae heran. “Kau benar-benar tidak ingat apapun?”
“Apa?” tanya Kyung-joon bingung.
“Ah, tidak apa-apa. Apa kau masih cuti?” tanya ayah Yoon-jae, hendak menepuk punggung anaknya.
Kyung-joon merunduk dan mengambil buklet pameran lukisan Prof. Park di atas meja. Ia bertanya pada ayah Yoon-jae (hufft, jadi bingung, soalnya dia kan ayah Kyung-joon juga >,<, aku ganti setelah Kyung-joon tahu aja ya^^), apakah ia mengenal Prof. Park.
“Kau ingat Profesor Park Min-kyu?” tanya ayah Yoon-jae.
“Orang ini juga kenal Seo Yoon-jae?” tanya Kyung-joon.
Ayah Yoon-jae membenarkan. Ia berkata ‘Yoon-jae’ memang berubah seperti yang istrinya katakan. Ia mengambil agendanya dan foto ibu Kyung-joon melayang ke lantai. Foto itu mendarat terbalik dengan wajah ibu Kyung-joon menghadap lantai. Kyung-joon memungutnya dan (tanpa membaliknya tentu saja!!) mengembalikan foto itu pada ayahnya.
“Walau Ayah mungkin merasa tidak nyaman karena tidak terbiasa, anggap saja ada seorang putera lain di sini,” kata Kyung-joon. Ayah Yoon-jae nampak bingung. Kyung-joon tersenyum dan mengangkat bahunya.
Keempatnya makan di restoran. Ibu Yoon-jae berkata akhir minggu ini ia akan menghadiri pertemuan isri para dokter. Da-ran juga sebaiknya hadir. Da-ran kaget.
“Aku sudah menghadiri pertemuan itu sejak aku menikah. Aku harus memperkenalkanmu selagi aku di Korea.”
“Ya,” kata Da-ran menunduk.
“Dan apakah selama ini kau selalu memakai pakaian seperti itu?” tanya ibu Yoon-jae. Ngomongnya sih sambil senyum, tapi maksudnya itu lho…..
Da-ran semakin menunduk, mengiyakan perkataan ibu mertuanya. Ibu Da-ran mengajak Da-ran berbelanja.
“Kau juga tidak punya mobil, kan? Mari kita juga membeli sebuah mobil.”
“Aku tidak memerlukannya,” Da-ran mencoba menolak dengan sopan. Kyung-joon tahu ibu Yoon-jae sedang merendahkan Da-ran.
“Aku melakukannya untuk Yoon-jae. Jika kau sudah mengurusnya sendiri, aku tidak perlu mengurusnya untukmu, kan?” sindir Ibu Yoon-jae.
“Maafkan aku,” kata Da-ran.
Kyung-joon menaruh gelasnya di meja dengan kesal. Ia menoleh pada Da-ran yang terus menunduk.
“Karena ibu melakukannya demi wajahku, kau seharusnya tidak perlu meminta maaf. Angkat kepalamu dan berterima kasihlah,” kata Kyung-joon.
Ibu Yoon-jae tersenyum, mengira puteranya berpihak padanya.
“Karena Da-ran akan merasa malu, aku yang tidak tahu malu akan berterima kasih untuknya. Sekarang berikan kartu creditnya padaku,” kata Kyung-joon pada ibu Yoon-jae.
Kalimat terakhir membuat semuanya terkejut. Kyung-joon berkata tidak akan nyaman jika ibunya mengikuti mereka belanja seharian, jadi mereka akan berbelanja sesuai dengan “nilai wajah”nya.
“Menurut ibu berapa batas penggunaan (kartu kredit) nya? Ibu tidak tahu berapa nilai dari wajahku ini?” tanya Kyung-joon.
Ibu Yoon-jae berkata ia hanya ingin mengajak Da-ran melakukan kegiatan sosial, apakah itu salah.
“Mengenakan pakaian baru dan membeli mobil naru bukanlah kegiatan sosial. Itu hanya menunjukkan seberapa banyak uang yang ibu miliki,” kata Kyung-joon.
“Yoon-jae-ahh…” tegur ayah Yoon-jae.
“Ahjusshi…Ayah, karena Ayah meninggalkan Ibu sendirian selama ini, kurasa Ibu telah memasuki organisasi yang aneh.”
“Itu bukan organisasi yang aneh. Tidak semua orang bisa menjadi anggotanya. Itu hanya untuk para istri pemilik rumah sakit,” Ibu Yoon-jae menjelaskan.
“Kalau begitu Ibu dan Da-ran tidak bisa pergi ke sana, karena kalian bukan siapa-siapa. Ayah kan tidak punya rumah sakit,” celoteh Kyung-joon. Ayah Yoon-jae menunduk malu.
Ibu Yoon-jae mencoba menjelaskan, walau ayahnya tak memiliki rumah sakit sendiri, ia tetap seorang dokter terkenal.
“Benar, kan?” katanya pada suaminya. Ayah Yoon-jae jadi salah tingkah.
“Ah, itu tidak benar,” ujar Kyung-joon, ”Banyak-banyaklah berusaha dan cepatlah mendirikan rumah sakit ayah sendiri.”
Intinya ia tidak bisa mengirim Da-ran ke pertemuan itu karena Da-ran akan malu. Ibu Yoon-jae berkata dulu ayahnya pernah memiliki rumah sakit sendiri. Ayahnya tersenyum malu membenarkan, mungkin ‘Yoon-jae’ tidak ingat hal itu.
“Tapi sekarang tidak lagi,” Kyung-joon bersikeras, ia meminta ibu Yoon-jae memberikan kartu kredit secepatnya. Melihat cara Kyung-joon membelanya, mau tak mau Da-ran diam-diam tersenyum geli.
Hmmm…enak banget ya, cukup dengan beberapa perkataan, Kyung-joon langsung mendapat kartu kredit. Mereka pergi ke showroom mobil. Da-ran tentu saja tidak ingin membeli mobil, tapi Kyung-joon memaksa. Bukankah orangtua Yoon-jae sendiri yang berkata kalau mereka memiliki rumah sakit dan memiliki banyak uang? Ia memilihkan mobil untuk Da-ran.
Makeover time….Kyung-joon membelikan pakaian untuk Da-ran. Ngga tanggung-tanggung, beberapa rak sekaligus. Da-ran mencoba beberapa pakaian. Setiap mencoba satu pakaian, Kyung-joon berkata, “Lumayan, beli!” (padahal baju-baju itu kurang cocok).
Da-ran mencoba gaun merah mini. “Jelek sekali, beli!” ujar Kyung-joon. He^^
Da-ran kembali mengenakan pakaian yang semula ia kenakan. Kyung-joon berkata pakaian itu lumayan, teruskan.
Walau telah membeli banyak pakaian dan membeli mobil, kartu kredit itu belum mencapai limit. “Kurasa wajah Seo Yoon-jae memang berharga tinggi, “ kata Kyung-joon.
Da-ran berkata orangtua Yoon-jae pasti bingung. Selama ini Yoon-jae adalah anak yang baik. Kyung-joon berkata jika anak mereka baik, maka Da-ran yang akan mendapat kesulitan (karena orangtua Yoon-jae akan selalu berpendapat Da-ran tidak cukup baik bagi putera mereka yang baik).
“Pada kenyataannya di dunia ini tidak hanya ada anak baik, tapi juga ada anak nakal. Mereka perlu tahu itu,” kata Kyung-joon.
Da-ran merenung di ruang makan sambil minum bir. Kyung-joon bertanya ada apa. Da-ran mengaku ia belakangan ini terus merasa bersalah pada Yoon-jae karena terus digoyahkan Kyung-joon.
“Jika Gil teacher merasa kesulitan, maka Kyung-joon akan meninggalkan tubuh ini dan Seo Yoon-jae akan kembali,” kata Kyung-joon penuh arti. Ia memegangi kepalanya, pura-pura kesakitan.
“Aaah….sakit sekali..Kang Kyung-joon pergi. Aaa…he’s coming, he’s coming….Seo Yoon-jae…di sini.”
Da-ran menyipitkan matanya melihat tingkah Kyung-joon.
“Da-ran-sshi…lama tak bertemu,” ujar Kyung-joon dengan gaya Yoon-jae. Dulu Da-ran akan klepek-klepek melihat “Yoon-jae” di hadapannya. Kali ini ia hanya tersenyum dan bertanya apa yang sedang Kyung-joon lakukan.
“Kau bertambah cantik setelah lama kita tak bertemu. Aku menyukaimu karena kau cantik. Bahkan setelah beberapa minggu berlalu, kau masih secantik dulu. ”
“Kang Kyung-joon, hentikan,” kata Da-ran geli.
“Aku Seo Yoon-jae. Oh iya,” Kyung-joon menggosok kedua tangannya lalu memegang tangan Da-ran, “Tangan hangatku adalah ciri khasku. Da-ran-sshi, apa tanganku hangat?”
Da-ran menarik tangannya. “Kau Yoon-jae-sshi? Berhentilah bercanda. Cobalah lakukan puing-puing.”
“Aahh..puing-puing…” kata Kyung-joon masih dengan gaya Yoon-jae, “Kau ingin yang seperti itu. Yang benar saja, aku Seo Yoon-jae yang lembut, jadi aku tidak bisa melakukannya.”
Puing-puing!! Kyung-joon melakukan puing-puing hingga Da-ran tertawa.
“Da-ran-sshi, kau benar-benar menyukai hal semacam ini..”
“Karena aku menghabiskan waktuku dengan anak-anak akhir-akhir ini, aku jadi kekanakkan,” Da-ran mengakui.
“Ah, kau suka yang kekanakkan? Kalau begitu aku akan menyanyikan lagu yang sering kudengar di rumah sakit anak-anak hingga aku merasa bosan.”
Kyung-joon duduk di atas meja dapur dan mengambil penggorengan untuk dijadikan gitar. Daran tersenyum.
“Ya! Pororo dang!!” Seru Kyung-joon. Da-ran tertawa. Maka Kyung-joon menyanyi lagu Pororo dengan penggorengan sebagai gitarnya.
Da-ran terus tertawa.
“Kau akhirnya tertawa,” kata Kyung-joon.
“Karena Kyung-joon sangat lucu.”
“Oh, Seo Yoon-jae yang lucu (karena Kyung-joon sedang berpura-pura sebagai Yoon-jae). Apa kau melihat Kang Kyung-joon saat kau tertawa? Karena kau tertawa saat melihat Kang Kyung-joon, pasti sulit untuk berpegang pada akal sehatmu.”
Da-ran terdiam. Kyung-joon menyerahkan “gitar”nya pada Da-ran, sekarang giliran Da-ran menyanyi. Da-ran malah menutupi wajahnya dengan penggorengan dan beringsut ke kamarnya. Kyung-joon protes sekarang giliran Da-ran menyanyi.
Di kamar, Da-ran memarahi dirinya yang tertawa dan terus melihat Kyung-joon. Ia bahkan memukul kepalanya dengan penggorengan agar kembali ke akal sehatnya.
Da-ran terbaring di tempat tidur. Ia mengeluh tidak bisa menggoreng hatinya di penggorengan, lalu menutupi wajahnya kembali.
Kyung-joon bingung mengapa Da-ran bersikap aneh. Ia berpikir Da-ran seperti itu karena ibu Yoon-jae memandang rendah Da-ran. Kalau begitu sia-sia ia menyanyi Pororo.
Da-ran duduk. Ia memutuskan untuk menunggu Yoon-jae. Memikirkan hal lain adalah pengkhianatan. Jadi agar ia tidak memikirkan hal lain, ia harus mengalihkan perhatian.
Ia mencari-cari benda apa yang bisa mengalihkan pikirannya. “Lihat! Ini dia!!” kata Da-ran dengan bahasa sageuk. Kotak peralatan menjahit.
Da-ran menjahit selimutnya. Ia terus berbicara dengan bahasa sageuk. Ia menganggap berkonsentrasi pada jahitannya akan membantu mengalihkan pikirannya. Mungkin itulah sebabnya para wanita jaman dulu menghabiskan waktu dengan menjahit sambil menunggu suami mereka pulang perang.
Jejeeeng! Da-ran mengenakan hanbok di jaman Joseon, menjahit dan terus menjahit.
“Aku menunggu suamiku. Sampai hari kedatangannya, melalui malam-malam yang panjang ini, aku harus mengalihkan diriku dengan jarum jahit ini.”
Angin berhembus, meniup cahaya lilin di meja. Tangan Da-ran gemetar. Terdengar suara seruling. Seorang pria berdiri di depan pintu, memainkan lagu Pororo dengan sulingnya.
“Apa-apaan ini?” Da-ran memalingkan wajahnya. “Aku tidak boleh membiarkan hatiku tertarik pada nyanyian Pororo dari tetangga sebelah.”
Da-ran mengangkat jarumnya dan menusukkannya pada jarinya. Auchhh…
Kembali ke kenyataan, jari Da-ran tertusuk jarum. Ia memegang jarum jahitnya dan bertekad terus menjahit untuk mengalihkan pikiran. Maka Da-ran pun terus menjahit dan menjahit….
Keesokan paginya, Da-ran memandangi jarinya yang penuh plester, dengan matanya yang seperti panda karena kurang tidur. Ae-kyung bertanya apa Da-ran baik-baik saja, ia terkejut melihat Da-ran yang terlihat begitu lelah.
“Aku melakukan sesuatu semalam…”
“Omo!! Apa ia terus menempel padamu karena kalian baru menikah?” tanya Ae-kyung. Ia berdehem lalu berkata keras-keras kalau ia juga pasti akan menikah. Ia akan pergi kencan buta hari ini. Ae-kyung mengatakannya sambil melirik ke belakang, ke tempat duduk Guru Na.
“Aku akan berkencan di coffee shop Hotel Korea hari ini jam 7 malam!” katanya keras-keras.
Guru Na bangkit berdiri dan pergi. Ae-kyung bertanya-tanya apakah Guru Na mendengar perkataannya barusan. Da-ran pikir Guru Na mendengarnya. Ae-kyung pura-pura tidak peduli, mereka kan tidak ada hubungannya lagi.
“Apa aku harus terus menunggu demi pria itu?” tanyanya kesal.
“Jika kau lelah menunggu, cobalah menjahit. Itu cara terbaik untuk membuang waktu dan menyingkirkan pikiran yang tak seharusnya,” Da-ran mengatupkan jarinya yang penuh plester. Haha…dan cara termudah untuk terluka :p
Ma-ri menunjukkan foto-foto hasil penyelidikannya pada Kyung-joon. Ia menyuruh Kyung-joon melihat apakah Prof. Park mirip dengan dirinya.
“Aku tidak yakin, bukankah ayahku seharusnya lebih tampan?” kata Kyung-joon.
“Rambutnya bagus,” kata Ma-ri haha…padahal Prof. Park itu udah tipis banget rambutnya.
Kyung-joon berkata mungkin saja Prof Park adalah ayahnya, karena ibunya memiliki lukisan yang sama dengan lukisan Prof. Park. seandainya ia bukan ayahnya, ia mungkin tahu siapa ayahnya. Kyung-joon melihat-lihat foto itu dan berhenti pada satu foto. Ia melihat foto ayah Yoon-jae sedang berbicara dengan Prof. Park.
Ia sudah tahu keduanya saling mengenal, tapi tampaknya hubungan mereka cukup dekat. Ma-ri bertanya mungkinkah ayah Yoon-jae tahu sesuatu mengenai ayah Kyung-joon? Ia menyuruh Kyung-joon menanyakannya langsung pada ayah Yoon-jae.
“Aku tidak suka bertemu mereka. Aku tidak merasa hebat saat berbicara dengan mereka.”
“Kurasa kau tidak senang menjadi anak mereka,” kata Ma-ri. “Ulangtahunmu segera tiba, akan menyenangkan jika kau menemukan ayahmu sebelum hari ulangtahunmu.”
“Ya, ulangtahunku tinggal sebentar lagi. Itu juga alasan aku kembali dari Amerika.”
Untuk mengadakan pesta ulangtahun, tanya Ma-ri. Kyung-joon berkata mereka bisa merayakan ulangtahunnya di Amerika jika segala sesuatu berjalan sesuai rencananya (ia dan Yoon-jae kembali ke tubuh masing-masing, lalu ia pergi jauh dari Da-ran). Ma-ri tentu saja senang sekali. Ia bertanya memangnya apa yang dilakukan Kyung-joon selama di Amerika. Kyung-joon berkata ia mengurus segala sesuatunya agar ia bisa hidup dengan baik nantinya.
Paman dan bibi Kyung-joon membicarakan warisan Kyung-joon sambil meminum segelas (bukan gelas kali ya, lebih mirip vas bunga >,<) jus. Paman berkata mereka yang bertugas mengurus warisan Kyung-joon jika Kyung-joon terus terbaring koma. Bibi khawatir mengenai ‘Yoon-jae’ yang tahu password untuk mengakses warisan Kyung-joon. Tapi Paman tidak yakin ‘Yoon-jae’ benar-benar tahu, memangnya dia Kyung-joon?
Yup, dia memang Kyung-joon dan dia sudah mengatur segalanya. Ia menunjuk “Seo Yoon-jae” sebagai satu-satunya wali pemegang properti peninggalan ibu Kyung-joon. Dengan demikian “Yoon-jae” diijinkan untuk mengakses warisan Kyung-joon dengan passcode yang telah diberikan (yang hanya diketahui Kyung-joon). Warisan itu kira-kira bernilai 4.5 juta dolar (atau sekitar 450 juta won), dan akan diurus “Yoon-jae” hingga Kyung-joon sendiri yang meng-klaimnya. Segalanya menjadi lebih mudah diurus karena ia bertubuh orang dewasa.
Kyung-joon mengajak Da-ran makan bebek peking di restoran Cina. Da-ran bingung, apakah hari ini hari yang spesial.
“Apakah kau suka jika kubilang aku suka melakukan hal ini?”
“Mengapa aku akan suka?” protes Da-ran cepat.
“Jika tidak, ya sudah. Aku tidak menraktirmu karena aku menyukaimu tapi karena aku hendak meminta bantuanmu.”
Kyung-joon berkata ia akan pergi ke pameran lukisan Prof. Park. Tadinya ia hendak pergi dengan Ma-ri tapi Prof Park mengenal Yoon-jae, jadi ia harus pergi dengan Da-ran (sebagai istri Yoon-jae, kalau pergi dengan Ma-ri nanti dikira punya selingkuhan ;D). Da-ran berkata ia tentu saja akan membantu.
Da-ran mengambil daging bebek dan langsung memakannya. Kyung-joon tersenyum geli, bebek peking seharusnya dimakan seperti lumpia. Ia mengambil selembar kulit lumpia dengan tangannya, menaruh daging bebek dan sayur-sayuran di atasnya, lalu membungkusnya dengan rapi.
Kyung-joon lalu menyuapi Da-ran. Da-ran jadi salah tingkah. Kyung-joon menawarkan untuk membuatkannya lagi (aku mauuuu!!! *ngacung*). Da-ran buru-buru berkata ia menyukai makanan yang lain.
Ia menyendok sup pedasnya dan mengipas-ngipas wajahnya dengan tangannya karena kepedasan (padahal wajahnya merah karena Kyung-joon). Kyung-joon mengambil buklet pameran dan mengipasi Da-ran dengan buklet itu.
“Enak tidak? Kang Kyung-joon…angin Kang!” Kyung-joon mengipasi dengan kencang. Ia lalu berpindah mengipasi sisi wajah Da-ran satunya lagi.
“Angin Seo….” Kyung-joon mengipasi dengan lembut.
“Angin Kang!! Angin Seo….” Kyung-joon mengipasi Da-ran kiri-kanan. Kencang-lembut…..
Da-ran malah terpana melihat wajah Kyung-joon. Jantungnya berdetak keras.
“Angin Kang…..angin Seo….”
“Hentikan!!” seru Da-ran, “Aku baik-baik saja.”
Kyung-joon malah memberikan buklet itu pada Da-ran agar Da-ran ganti mengipasinya. Angin Gil, berhembuslah!!
Da-ran menutupi wajahnya dengan buklet itu dan mengajak Kyung-joon pergi, ia sudah selesai makan. “Pergi? Bagaimana dengan bebeknya?!” seru Kyung-joon.
Da-ran pulang ke rumah dan menghempaskan dirinya ke tempat tidur. Ia memaki dirinya sudah gila. Apakah ini waktunya untuk melihat Kyung-joon terus dan dihembusi angin?
“Aku bahkan tidak bisa menyetrika hatiku yang sudah kusut,” ujarnya pada diri sendiri.
Dan Da-ran pun menyetrika selimutnya.
“Mari menyetrika…Mari setrika hatiku.”
Jaman Joseon, Da-ran menyembur air dari mulutnya untuk membasahi kain yang hendak ia setrika.
“Sampai suamiku kembali, aku harus menghabiskan malam-malam panjang mengatur pikiranku agar tetap lurus dengan menyetrika.”
Angin bertiup, tangan Da-ran gemetar. Seorang pria berdiri di luar pintu. Ia sedang mengipasi diri. Makin lama makin kencang diiringi seruan, “Yaa!! Pororo dang!!”
“Walau angin dari tetangga sebelah terus bertiup, aku tidak boleh merubah pikiranku!”
Siuttt! Da-ran mengacungkan setrika besinya. Dan mulai menyerika……
Kembali pada kenyataan, Da-ran menyetrika dan terus menyetrika. “Luruskan hatimu,” katanya dengan bahasa sageuk.
Tok tok tok, Kyung-joon mengetuk pintu kamar Da-ran lalu masuk ke dalam. Da-ran semakin kuat menyetrika ketika melihat Kyung-joon yang mengusutkan hatinya.
“Mengapa kau menyetrika dalam ruang tertutup, apa kau tidak kepanasan?” tanya Kyung-joon bingung.
“Aku sedang meluruskan pikiranku. Pergilah…” (masih dalam bahasa sageuk)
Kyung-joon berjongkok di sisi Da-ran. Ia bertanya apa Da-ran sedang membuat film sageuk, mengapa Da-ran terus menjahit dan menyetrika?
Da-ran meminta Kyung-joon tidak mempedulikannya. Ia mneyemprot selimutnya dengan air. Kyung-joon mengambil semprotan itu dan menyemprot Da-ran.
“Katakan padaku mengapa wajahmu kusut belakangan ini, aku akan meluruskannya untukmu.”
“Akan semakin kusut jika kau ada di sebelahku.”
“Apakah melihatku begitu membebanimu?” tanya Kyung-joon menunjuk wajah “Yoon-jae”. Ia bertanya apa Da-ran takut Yoon-jae menolaknya setelah Yoon-jae kembali. Ia pikir Da-ran bekerja sangat keras untuk menanti kembalinya Yoon-jae.
“Ya, itu benar. Jadi jangan mengganggu dan pergilah.”
“Baiklah, Kang Kyung-joon yang terus mengganggu akan menyingkir, tapi Seo Yoon-jae yang kembali akan ketakutan. Ini sama saja memintanya bertanggungjawab karena kau telah menunggunya selama ini. Kau mungkin merasa sebagai pahlawan, tapi ia akan merasa sesak. Oh baiklah, Yoon-jae-sshi orang yang sangat bertanggungjawab kan? Ia akan bertahan, kan?” sindir Kyung-joon.
Da-ran jadi kesal dan menyuruh Kyung-joon pergi. Kyung-joon pergi dari kamar Da-ran dengan kesal.
Da-ran tak sengaja menjatuhkan setrika panas hingga mengenai kakinya. Ia mengaduh kesakitan. Mendengar teriakan tertahan Da-ran, Kyung-joon cepat-cepat masuk kembali.
Ia melihat kaki Da-ran yang memerah. Da-ran meringis kesakitan. Kyung-joon membantu Da-ran berdiri dan membawanya ke kamar mandi. Ia men”dingin” kan luka Da-ran dengan air yang mengalir. Wajahnya nampak sangat khawatir.
Da-ran hendak melakukannya sendiri tapi Kyung-joon menepis tangannya. Da-ran berkata lukanya akan sembuh setelah diberi obat.
“Yoon-jae-sshi menyukai Gil Da-ran karena kau cantik. Apa yang akan kita lakukan jika luka ini meninggalkan bekas?” tanya Kyung-joon sedih. “Karena kau terluka saat kau menunggunya, minta ia bertanggung jawab.”
“Kau bilang ia akan merasa sesak.”
“Katakan padanya untuk bertahan walau menyusahkan. Katakan padanya untuk melakukan apapun yang kau minta,” kata Kyung-joon.
Ia bertanya dengan lembut apakah Da-ran merasa kesakitan. Da-ran menjawab iya. Mata Kyung-joon berkaca-kaca. Ia bertanya apakah ia sebaiknya terus di sana (menyirami luka Da-ran dengan air).
“Ya, tinggallah di sini,” kata Da-ran akhirnya.
Kyung-joon meniupi luka Da-ran dengan hati-hati dan merawatnya.
tengkyu mbak fanny, sinopsis 11 nya sudah muncul aja nih, teteup ditunggu part 2 nya mbak heheee...
BalasHapussama-sama, part 2 besok ya^^
Hapusmakasih mba sinopsisnya.. semenjak punya bayi saya lebih seneng "baca" drama korea, jadi bisa sambil menyusui, hehe..
BalasHapusbtw, ini komentar pertama saya nih, soalnya seringnya pake hape, jdi susah buat komen. saya ngikutin blog mba pas nyari2 sinop king 2 hearts..
salam kenal ya mba..
semangat terus bikin sinopsisnya.. fighting! ^^
salam kenal^^
HapusDaran di episode ini benar2 galau ya...hehe
BalasHapusTrus liat tingkahnya mari selalu kocak...
Yang semangat y mba buat sinopsis berikutnya.. Ditunggu loh..^_^
iya, Da-ran pasti bingung banget hehe...kita aja bingung ;D
HapusOOOooo....so sweet bget sich couple ini...
BalasHapusditunggu lanjutannya,...
-cantie-
awwww,,,,
BalasHapussemakin seru saja
figting ya mbak buat nglanjutin sinopnya
wahh makin seru aja mbak,tapi kenapa sedikit menyedihkan yaa..
BalasHapus