Dal Po pergi ke kantor polisi untuk menanyakan perihal kerangka yang ditemukan di bekas pabrik terbakar itu. Tapi polisi berkata kerangka itu sudah diurus oleh keluarganya.
Dal Po langsung menyadari bahwa kakaknya yang sudah mengambil kerangka ayahnya. Ia menanyakan siapa dan bagaimana cara ia menghubungi orang tersebut. Polisi itu menanyakan siapa Dal Po.
Dal Po berkata ia juga keluarga korban dan mungkin kakaknya yang sudah mengambil kerangka ayahnya. Polisi bertanya apa Dal Po memiliki bukti bahwa ia memang keluarga korban. Dal Po mengaku ia diadopsi jadi tak memiliki bukti. Tapi ia ingat alamat lamanya dan nama semua anggota keluarganya.
Polisi itu mengerti tapi peraturan menyatakan dibutuhkan bukti tertulis yang menyatakan Dal Po adalah keluarga korban. Ia tidak bisa memberikan data pribadi Jae Myung.
Dal Po keluar dari kantor polisi dengan rasa lega bahwa ia masih memiliki kakaknya.
“Ayah, aku tidak sendirian di dunia ini.”
Sementara itu, Jae Myung menaruh piala penghargaan ayahnya di sebelah tempat abu ayahnya sambil menangis.
“Ayah, sekarang aku benar-benar sendirian di dunia ini. Hanya aku seorang di dunia ini yang tahu betapa tidak adilnya kematian Ayah.”
Dal Po berbicara dalam hati pada ayahnya. Ke mana ia harus pergi dan bagaimana caranya menemukan kakaknya?
Ia menerima SMS dan membacanya. “Halo, ini manajer penerimaan untuk YGN. Selamat Anda diterima.”
Apakah ini jawaban Ayah atas pertanyaan Dal Po? Entahlah, Dal Po teringat ketika ia mengajak In Ha menjadi reporter bersama.
“In Ha membuatku ingin menjadi seorang reporter. Aku ingin menunjukkan pada wanita itu bahwa In Ha dan aku dapat menjadi reporter. Tapi tekad yang kubuat berakhir dengan kegagalan (ketika Dal Po mengkhianati In Ha dalam kemarahannya)…
…dan sekarang aku membuat tekad baru untuk diriku sendiri. Beberapa tahun terakhir bagaikan hidup dalam neraka tapi aku sekarang bertekad menceritakan kematian Ayah yang tak adil pada seluruh dunia. Dan satu-satunya orang lain yang tahu kebenaran mengenai kematian Ayah adalah….kakak. Aku bersumpah akan menemukannya.
Orang yang menuntunku ke jalan untuk menjadi seorang reporter mungkin bukan In Ha, tapi sebenarnya…Ayah.”
In Ha dan Dal Po masih saling mendiamkan. Dal Po berpakaian dengan rapi untuk hari pertamanya bekerja, sementara In Ha dengan lesu mengenakan pakaian seadanya. Dan cegukannya belum berhenti.
“Pergi kerja?” tanya Dal Pyung begitu melihat keduanya.
“Iya,” jawab keduanya.
“In Ha, kau itu bukan pergi kerja. Pergi bekerja artinya kau memiliki pekerjaan, tapi minimarket tempat kau pergi itu cuma kerja paruh waktu,” Dal Pyung membetulkan.
Ia berkata yang satu reporter TV, sementara satunya lagi wanita berusia 27 tahun tak tahu malu yang bekerja paruh waktu di minimarket seperti mahasiswi yang tak memiliki tujuan.
“Akhirnya kalian terlihat seperti Paman dan keponakan.” Dasar Dal Pyung tega bener sama anaknya sendiri ;p
Keduanya pamit bersamaan dan tak sengaja bertubrukan dekat pintu.
“Aku..hik..pergi duluan,” kata In Ha kikuk. Ia mengambil sepatunya tapi tidak sengaja menjatuhkan sebelah sepatu Dal Po.
Kakek yang baru keluar dari kamar mandi bertanya apakah mereka tidak sarapan dulu. Dal Po berkata ia tidak nafsu makan. In Ha berkata ia tidak lapar.
“Kalian juga tidak makan malam semalam. Ada apa? Apa terjadi sesuatu lagi pada kalian berdua? Kali ini kalian bertengkar mengenai apa?” tanya Kakek.
Tidak ada, jawab Dal Po singkat. Dal Pyung berkata wajar saja mereka bertengkar karena yang satu diterima sementara yang satunya tidak.
“In Ha, kau seharusnya menyerah menjadi reporter dan cobalah menjadi guru les. Jika orang-orang tahu kau mengubah seorang supir taksi menjadi seorang reporter dalam waktu sebulan, semua orang di negeri ini akan memberimu uang untuk membantu mereka juga.”
Plakkk! Koran kakek menerpa bibir Dal Pyung.
“Berhentilah bicara ngawur dan perbaiki toilet!” omel Kakek.
In Ha dan Dal Po menggunakan kesempatan itu untuk pamit pada Kakek. Sebelum keluar, In Ha mengembalikan sebelah sepatu Da Po ke rak sepatu.
Di luar, In Ha berusaha berbaikan dengan Dal Po. Ia meminta Dal Po tidak memasukkan ucapan ayahnya dalam hati. Ia senang Dal Po menjadi reporter. Tadinya ia pikir ia akan iri tapi ternyata ia tidak merasa begitu.
“Ajaibnya. Aku sedikitpun tidak merasa iri. Hik. Betulan!”
“Kau cegukan.” Kata Dal Po tanpa menoleh pada In Ha.
“I-ini…bukan karena itu aku cegukan. Ini karena…ini..pokoknya aku baik-baik saja. Kau tidak perlu merasa tidak nyaman di dekatku karena yang terjadi pada hari itu. Berbeda pandangan dengan pendapat seseorang dalam sebuah diskusi terbuka memang diperbolehkan, kan? Aku tahu kau tidak punya pilihan lain.”
Dal Po berkata ia mengatakannya bukan karena tidak punya pilihan tapi karena ia benar-benar berpendapat bahwa In Ha tidak bisa menjadi seorang reporter. In Ha terkejut. Apa maksud perkataan Dal Po barusan?
“Kenapa aku tidak bisa menjadi seorang reporter?”
“Aku sudah menjelaskannya saat diskusi tersebut,” jawab Dal Po.
Ketika itu Dal Po berkata ia mengerti alasan mengapa seorang Pinocchio tidak bisa menjadi reporter. Karena mereka tidak menyadari bahaya dari perkataan dan asumsi tak berdasar yang mereka ucapkan.
In Ha terluka mendengar perkataan Dal Po. Apalagi Dal Po menambahkan bahwa ibu In Ha benar, seorang Pinocchio tidak seharusnya menjadi reporter.
In Ha tidak mengerti mengapa Dal Po tiba-tiba berubah seperti ini. Bukankah Dal Po yang menginginkan mereka sama-sama jadi reporter. Dal Po tidak menjawab dan terus berjalan pergi tanpa menghiraukan seruan In Ha.
“Jangan menjadi reporter, In Ha. Setiap aku memikirkanmu menjadi reporter, aku teringat pada ibumu yang kejam. Aku teringat pada ibumu yang memfitnah ayahku dengan tidak adil,” batin Dal Po.
In Ha melempar sepatunya ke arah Dal Po sambil berteriak. “Hei!! Kau brengsek!”
Dal Po berhenti tapi tidak menoleh.
“Jika kau menjadi seorang reporter, aku akan tersiksa melihat wajahmu. Dan pikiran itu membuatku takut,” kata Dal Po dalam hati. Ia meneruskan berjalan meninggalkan In Ha.
In Ha bekerja sebagai kasir di minimarket. Cegukannya yang terus menerus membuat pelanggan bersimpati dan memberitahunya cara agar cegukan berhenti.
“Tidak akan berhasil,” kata In Ha pelan.
“Cobalah, aku jamin berhenti.”
“Tidak akan. Sudah kubilang tidak akan!” In Ha tiba-tiba menangis.
Ketika pelanggan itu memanggilnya pelajar, tangis In Ha makin keras. Ia berkata ia bukan pelajar tapi sudah lulus 3 tahun lalu dan masih pengangguran.
Pelanggan datang silih berganti dan In Ha terus curhat pada mereka sambil menangis.
“Aku diwawancara jadi reporter tapi aku gagal. Itu adalah wawancaraku yang ke-36. Kalian harus belajar keras atau kalian akan berakhir sepertiku,” katanya pada beberapa pelajar.
“Bukankah tidak masuk akal? Pamanku diterima hanya dalam waktu sebulan. Aku sudah mempersiapkan diri selama 3 tahun tapi masih gagal,” katanya pada seorang Ahjusshi yang membeli beberapa botol bir. In Ha tidak lupa meminta ahjusshi itu memperlihatkan KTPnya. Ya ampun In Ha, ahjusshi udah pasti melewati batas umur untuk beli minuman beralkohol dong XD
“Mungkin aku akan terus cegukan sepanjang sisa hidupku. Agar cegukanku berhenti, aku harus mengakui perasaanku padanya. Tapi orang yang kusukai…”
“Choi Dal Po.”
In Ha mendongak heran. Bum Jo tersenyum.
“Dia kan orangnya? Pamanmu?”
In Ha bengong. Bum Jo menyuruh In Ha terus berbicara. Ia akan mendengarkan apapun yang ingin dikatakan In Ha karena yang ia miliki hanyalah waktu.
Episode 5: Raja dengan telinga keledai
Dal Po tiba di YGN dan heran karena tampaknya belum ada yang datang. Tapi ketika melihat jamnya, ia tidak datang kepagian. Kemudian ia melihat orang-orang berkerumun di dekat tangga.
Ternyata itu adalah para reporter yang baru diterima. Dal Po menjulurkan kepalanya dan bertanya apa yang mereka sedang lakukan. Mereka terlonjak kaget.
“Kenapa kalian begitu terkejut? Apa kalian melakukan kesalahan atau semacamnya?”
Yoo Rae bertanya kenapa Dal Po berbicara dengan bahasa formal pada mereka. Sebagai rekan sekerja, mereka berbicara dengan bahasa pergaulan. Bahkan dengan rekan tertua di antara mereka. Dal Po dengan susah payah mengikuti “aturan” mereka itu.
Mereka ternyata sedang berbagi informasi mengenai siapa saja yang ada di YGN. Salah satu yang harus mereka waspadai adalah reporter Jang Hyun Gyu dari area Sungai Han. Menurut rumor, ia dijuluki “Jang kepo” karena selalu ingin tahu urusan semuanya. Selain itu ia juga bertemperamen jelek hingga tidak ada orang yang ingin berlawanan dengannya.
“Menangis akan membuatmu ditandai. Dan begitu kau ditandai…”
“KALIAN MATI!!!” bentak reporter Jang dari belakang mereka. Aah…ternyata dia reporter yang tidak mau melepas bandonya^^
Yoo Rae langsung mematung. Shock. Sementara yang lainnya langsung membentuk barisan.
Reporter Jang menyuruh mereka mengikutinya. Semua menurut.
“Tidak apa-apa, Yoo Rae,” Yoo Rae menenangkan dirinya sendiri dengan mata memerah. “Kau belum menangis jadi kau belum ditandai. Tidak, kau belum ditandai.”
Yoo Rae dan reakn tertua dihukum mengangkat tangan mereka. Reporter Jang bertanya apa yang tadi mereka berdua obrolkan. Yoo Rae menggeleng seperti anak kecil yang dimarahi ibunya.
Gyo Dong, Young Tak, dan Reporter Jo melihat mereka dari kantor dalam. Bagi mereka ini bukanlah pemandangan baru. Reporter Jo ingin tahu siapa orang baru yang akan menjadi korban kemarahan Reporter Jang.
Young Tak berkata tentu saja dua orang yang sedang mengangkat tangannya. Mereka sudah ditandai.
“Kurasa dia yang kurus tinggi itu,” kata Gyo Dong.
Young Tak tidak merasa ada yang aneh dengan Dal Po. Gyo Dong berkata Dal Po adalah anak yang membandingkan stasiun TV dengan pembuangan sampah, yang pernah mengatakan padanya bahwa reporter tidak etis dan menjijikkan.
Young Tak baru ingat. Dal Po adalah pemuda bermulut tajam di hari wawancara.
“Apa kau merasa diperlakukan tidak adil?”
“Tidak!” kata Yoo Rae.
“Apa kau menangis?”
“Tidak, ini karena aku menguap,” Yoo Rae menjelaskan soal matanya yang merah dan berkaca-kaca. “Aku menguap dengan mulut tertutup.”
Reporter Jang mengalihkan pandangannya pada Dal Po yang sejak tadi menatapnya.
“Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau merasa aku tidak adil memarahi rekan-rekanmu? Jawab!!” Wuihh..galak amat >,<
“Tidak, Pak. Aku merasa mereka lebih dari pantas untuk dimarahi.”
Ketiga senior menyaksikan dengan tertarik.
“Sungguh berhati dingin. Apa kau tidak punya kesetiaan? Angkat kedua tanganmu!” Doenkk..jadi inget waktu diospek dulu… serba salah XD
Dengan gaya reporternya, Reporter Jo berkata Reporter Jang sedang menantang timbulnya masalah dengan alasan tak jelas. Apa Dal Po akan tertantang?
Semua menantikan reaksi Dal Po.
“Aku minta maaf,” Dal Po mengangkat kedua tangannya. “Dan bersedia dikoreksi.”
Ketiga senior tampaknya sedikit kecewa karena mereka menyangka Dal Po akan melawan.
Reporter Jang tidak memarahi mereka lagi. Ia melemparkan seikat badge pada si tertua. Si tertua bingung, apa ia harus memegang badge itu atau harus mengangkat kedua tangannya. Akhirnya ia memegang badge itu sambil terus mengangkat kedua tangannya.
Reporter Jang berkata selama seminggu mereka akan berkeliling ke berbagai departemen untuk mengamati dan belajar bagaimana membuat berita. Setelah itu mereka ditugaskan pada sebuah departermen dan memulai pelatihan mereka secara resmi dengan mengendus apapun yang bisa dijadikan berita.
Kakek tersenyum bangga melihat foto Dal Po di badgenya. Dal Po seperti biasa memijati Kakek dan menceritakan apa yang akan dilakukannya beberapa hari ke depan.
In Ha masuk kamar mandi dan nampak kesal mendengar percakapan mereka. Apalagi ketika ia teringat perkataan Dal Po tadi pagi. Ia menyikat giginya keras. Lalu mendapat ide saat melihat sikat gigi Dal Po.
Ia mengambilnya dan menggunakannya untuk menyikat kloset. Eeew….
Setelah itu ia menggantungkan sikat gigi itu kembali dan keluar dengan perasaan puas.
Dal Po masuk ke kamar mandi dan mengambil sikat giginya. Yuck >,<
Tapi ternyata In Ha tak tega juga. Ia berlari masuk kamar mandi dan merebut sikat gigi yang hampir saja digunakan Dal Po. Dan membuangnya ke tempat sampah.
Manajer pabrik dan dua anak buahnya minum-minum di kedai soju yang sama. Tampaknya mereka langganan di sana. Mereka sudah baikan karena Manajer sudah menandatangani surat hutang dan berjanji akan mengembalikan uang mereka bahkan beserta bunganya.
Salah satu dari mereka bertanya apa mereka sudah mendengar mengenai kerangka kepala pemadam kebakaran yang ditemukan. Mereka belum mendengarnya karena peristiwa itu sudah berlalu 13 tahun lalu jadi tidak masuk dalam berita. Temannya merasa lega karena selama ini ia ketakutan kepala pemadam kebakaran akan kembali dan mereka akan ketahuan berbohong.
“Lihat, sudah kubilang ia sudah mati,” kata si Manajer. “Akhirnya kita bisa tidur dengan tenang!”
Mereka pun bersulang.
Seseorang berjalan terhuyung-huyung menubruk meja mereka dan diam-diam mengambil dompet di meja. Manajer marah-marah tapi kedua rekannya menenangkannya. Penubruk itu hanya pura-pura. Ia adalah Jae Myung.
Reporter Jang membawa para reporter baru ke ruang kontrol di mana berita dciptakan.
“Pria yang memberi sinyal adalah PD berita. Dan di sebelahnya…”
“Direktur Teknis, PD yang membuat pengambilan gambar jarak dekat…” potong Yoo Rae.
“Angkat tanganmu dan hitung sampai 100.”
“Baik.” Yoo Rae menghela nafas panjang sambil mengangkat kedua tangannya.
Tadinya kukira Young Tak adalah Direktur YGN atau semacam editor. Tapi ternyata ia seorang pembaca berita. Ia membacakan berita bahwa menurut survei terakhir, YGN menempati posisi teratas sebagai stasiun TV yang paling berpengaruh dan berkredibilitas tertinggi. Perolehan suaranya mencapai 45%
Sementara MSC peringkatnya menurut dan kredibilitasnya hingga mencapai 7%, sementara NTS sedikit meningkat dengan perolehan suara 9%.
Para petinggi MSC juga sedang menyaksikan siaran yang sama, termasuk Cha Ok. Cha Ok menduga liputan mengenai sebuah kasus kebangkrutan bulan lalu telah mengakibatkan kerusakan besar. Atasannya khawatir karena tayangan berita utama MSC dan YGN akan berada pada slot waktu yang sama. Jika seperti ini terus, YGN akan dengan mudah mengalahkan mereka.
Padahal seperti YGN, mereka juga sudah mempromosikan besar-besaran. Cha Ok tampak memikirkan sesuatu. Ia bertanya mengenai pelatihan reporter baru. Asistennya melaporkan bahwa ada beberapa reporter baru yang tidak tahan dalam pelatihan dan memilih mengundurkan diri. Cha Ok memiliki rencana.
In Ha tidak canggung lagi curhat pada Bum Jo yang selalu mau mendengarkannya. Bum Jo bahkan membantu In Ha melakukan pekerjaannya di minimarket. In Ha berceloteh diselingi cegukannya bahwa Dal Po yang mengajak mereka jadi reporter bersama-sama.
Tapi tiba-tiba Dal Po berkata ia tidak bisa jadi reporter dan tidak mau mengatakan alasannya.
“Apa aku yang aneh?” tanyanya.
“Bukan, Dal Po yang aneh,” ujar Bum Jo yakin.
In Ha berkata ia benar-benar sial. Ayahnya, Dal Po, ibunya, semua melarangnya jadi reporter. Memangnya dunia akan berakhir jika seorang Pinocchio jadi reporter?
“Tidak, tidak akan. Never.”
“Jika bukan karena cegukan ini, semuanya tidak akan seburuk ini.”
“Ayolah, cegukanmu cute. Bagaimana jika kau kentut setiap kali kau berbohong? Itu akan sangat menjijikkan.”
“Kentut? Astaga….benar juga. Syukurlah daripada kentut, aku hanya cegukan,” In Ha tertawa dan merasa terhibur. Ia berterima kasih karena sekarang ia merasa lebih baik setelah mengatakan semuanya.
“Syukurlah. Aku senang mendengarmu berbicara,” kata Bum Jo tulus.
“Kau terlihat lebih baik dari yang kukira,” ujar seseorang. Suara Cha OK.
Senyum In Ha lenyap begitu melihat ibunya. Cha Ok berkata tadinya ia pikir akan melihat In Ha menangis setelah gagal diterima di semua stasiun TV tapi ternyata In Ha terlihat cukup ceria.
Cha Ok langsung pada tujuannya datang mencari In Ha. Ia bertanya apakah In Ha masih berminat menjadi reporter. Karena mereka memiliki tempat kosong.
“Tertarik?”
“Apa Ibu menyesal atas apa yang Ibu katakan pada pertemuan terakhir kita atau…”
“Ini untuk promosi. Survei terakhir menunjukkan MSC menduduki peringat terakhir dalam hal kredibilitas. Kami harus melakukan sesuatu untuk mengubahnya dan itu membuatku teringat padamu. Jika kami mempromosikan bahwa kami mempekerjakan reporter yang tidak bisa berbohong, maka akan membantu kredibilitas kami.”
“Jadi aku bukan terpilih sebagai reporter tapi sebagai boneka untuk promosi?” tanya In Ha tak percaya.
Cha Ok membenarkan. Anggap saja itu sebagai waktu magang 3 bulan. Tapi jika In Ha bekerja dengan baik, maka akan dipertimbangkan untuk benar-benar diterima.
“Aku tidak tertarik,” kata In Ha sambil bangkit berdiri.
Cha Ok berkata In Ha tidak sepantasnya menolak tawarannya mengingat bagaimana kondisi In Ha sekarang.
“Apa harga diri atau gengsi penting dalam hal ini?”
“Ya, penting bagiku,” kata In Ha.
Cha Ok berkata In Ha tidak akan menemukan jalan lain untuk menjadi seorang reporter jika memikirkan harga diri terus.
“Untuk memperoleh sesuatu, kau harus mengorbankan sesuatu.”
“Kalau begitu apa yang Ibu korbankan ketika Ibu memilih jadi reporter?”
“Kau.”
Jawaban yang tidak In Ha sangka-sangka. Ia bertanya apa ibunya pernah menyesali keputusan itu.
“Pernah, tapi melihatmu seperti ini membuatku bertanya-tanya apakah penyesalan itu sia-sia.”
Ia menyodorkan kartu namanya di meja dan mengingatkan agar In Ha menghentikan cegukannya lebih dulu jika memutuskan untuk bergabung.
Ia masuk ke dalam mobilnya dan memperhatikan In Ha. Melihat In Ha mengambil kartu namanya, ia tersenyum puas.
“Kukira Ibu datang karena hari ini ulang tahunku,” gumam In Ha kecewa sambil memandangi kartu nama ibunya.
Bum Jo memperhatikannya dari jauh. Ia membawa kotak kecil hadiah ultah In Ha, tapi ia memasukkannya lagi ke dalam saku jasnya.
Bum Jo menceritakan perihal tawaran Cha Ok pada In Ha. Ibu Bum Jo bertanya apa In Ha akan menerima tawaran itu. Bum Jo berpendapat In Ha akan menerimanya.
Ibu Bum Jo tak mengerti mengapa In Ha masih ingin jadi reporter setelah diperlakukan seperti itu oleh ibunya.
“Itulah…kukira semua ibu di dunia ini sehebat ibuku,” kata Bum Jo sambil memeluk ibunya. “Tapi ternyata tidak seperti itu.”
Ibunya tersenyum. “Apa kau baru tahu?”
“Aku penasaran. Apa pentingnya menjadi seorang reporter hingga ia bertahan mengalami perlakuan seperti itu? Dan apa yang membuat ibunya jadi begitu tak berperasaan? Tapi terlebih lagi, apa yang akan terjadi jika seorang Pinocchio jadi reporter? Juga…”
“Anakku, akhir-akhir ini kau bersikap aneh. Kau penasaran akan banyak hal akhir-akhir ini.”
“Benarkah? Itu konsep pendidikan asing,” kata Bum Jo tersenyum. Bum Jo ini keliatan anak mami banget ;p
Teman sekerja In Ha terkejut ketika mendapati In Ha berdiri terbalik. In Ha berkata ia melakukan itu setiap kali banyak pikiran dan harus memutuskan sesuatu. Sekarang ia sudah memutuskan.
Dalam perjalanan pulang, Dal Po melewati toko kue. Dan ia galau untuk membeli atau tidak kue itu. Akhirnya ia membelinya.
“Dasar gila, kau tahu kau tidak akan memberikannya padanya,” makinya pada dirinya sendiri.”
Sebelum turun dari bis, ia memberikan kue itu pada seorang nenek dan cucunya. Sang cucu yang sejak tadi terus menerus menatap kue itu.
Ketika ia tiba di depan gedung apartemen, ia melihat In Ha sedang menunggunya. Mereka masuk dalam lift. Dal Po menekan angka 7, tapi In Ha menekan angka ke lantai 12. Atap gedung.
“Kita perlu bicara,” katanya.
Mereka berdua berdiri di atap gedung. Dal Po menyuruh In Ha cepat bicara karena cuaca sangat dingin.
“Aku tidak iri padamu. Aku senang kau jadi reporter dan aku tidak marah sama sekali?”
“Kita membicarakan itu lagi? Kau cegukan sekarang.”
“Apa kau tahu sejak kapan aku cegukan? Bermula sejak aku menyangkali perasaanku padamu.”
Dal Po tertegun. “Apa?”
“Aku menyukaimu.”
Dal Po seakan tak percaya mendengar perkataan In Ha.
“Aku menyangkalinya begitu aku menyadari perasaanku. Karena itu tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan. Cegukanku tidak berhenti sejak aku menyangkali perasaanku sendiri.”
“Kau bohong. Itu tidak masuk akal,” katanya membelakangi In Ha.
In Ha berdiri di hadapan Dal Po.
“Ini bukan kebohongan. Lihat, cegukanku berhenti. Kau tahu aku tidak bisa berbohong. Karena itu aku tidak bisa menyembunyikannya saat aku menyukai orang lain. Aku juga tidak bisa jual mahal seperti yang orang lain lakukan. Meski jawabannya sudah jelas dan aku tahu betul kau pamanku jadi ini tidak benar, aku tetap harus mengakui perasaanku padamu karena cegukanku ini. Jadi berpura-puralah kau tidak pernah mendengar pengakuanku.
Aku akan melakukan apapun untuk menghentikan perasaanku padamu. Aku akan memanggilmu “Paman” setiap saat dan berkencan dengan pria lain. Aku akan melakukan apapun untuk menghentikannya. Jadi lupakan apa yang baru saja kukatakan padamu. Maka semuanya akan baik-baik saja.”
Dal Po tak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengiyakan. Terima kasih, kata In Ha sambil berjalan pergi.
“Bagaimana jika itu tidak berhasil?” tiba-tiba Dal Po bertanya. Air matanya mengalir namun In Ha tidak melihatnya karena Dal Po membelakanginya.
“Bagaimana jika kau berusaha melakukan apapun dan melakukan semua yang bisa kaupikirkan tapi perasaanmu tetap sama dalam waktu yang lama?” Dal Po menghapus air matanya lalu menatap In Ha, “Apa yang akan terjadi….pada kita?” tanyanya.
Ia sebenarnya sedang membicarakan perasaannya sendiri yang bertahun-tahun mencintai In Ha.
“Kita tidak bisa membiarkannya. Kita adalah keluarga. Jangan khawatir, perasaanku belum sedalam itu,” kata In Ha. “Aku yakin aku akan segera menghentikannya.”
Dal Po menyembunyikan kekecewaannya dan menatap In Ha yang berjalan pergi.
“Pasti bagus untukmu jika bisa melakukannya…,” gumamnya.
Komentar:
Akhirnya In Ha menyatakan perasaannya^^ Tapi sayang, Dal Po masih bersikap dingin pada In Ha. Mau tidak mau aku kasihan pada In Ha karena menjadi puteri Cha Ok. Ibunya mengabaikannya dan Dal Po menjauhinya karena ibunya.
Apakah In Ha akan menerima tawaran Cha Ok? Meski ia tahu ibunya hanya memperalatnya untuk menaikkan kredibilitas MSC? Sayangnya Cha Ok tidak mengerti bahwa yang menjadikan kredibilitas YGN tinggi bukanlah orangnya, tapi kualitas berita yang disampaikan pada masyarakat. Memangnya In Ha bisa memberitakan berita seperti Cha Ok, yang penuh rekayasa?
Tapi keinginan In Ha terlalu besar. Apalagi sekarang ia juga tidak memiliki masa depan. Satu-satunya kesempatan adalah dengan meraih tawaran ibunya.
Jae Myung sedang merencanakan sesuatu. Ia sepertinya membuntuti ketiga orang itu. Dan lagi ketiga orang itu malah menambah kemarahannya saja. Masa mereka senang mendengar orang lain sudah mati? Dunia ini memang semakin mengerikan >,<
Masalahnya Jae Myung dan Dal Po sangat berbeda. Setidaknya Dal Po memiliki keluarga baru, apalagi setelah ia mendengar kakaknya masih hidup. Tekad Dal Po adalah memberitahu semua orang bahwa ayahnya selama ini tidak bersalah. Sementara Jae Myung berpikir ia hanya sendirian di dunia ini. Hidupnya seakan tak ada artinya lagi.
penasaran banget sama kelanjutannya...
BalasHapussemangat mbak...
:D
thanks mbak
BalasHapusbagian 2 nya kapan??
dalpo :* semangat ya mbak buat sinopsisnya.
BalasHapusWah...daebak cepat banget sinopsisnya..gomawo mau tany dunk mbak kalau mau nnton drama yang sudah ada subtitlenya dmn ya thnks sebelumnya
BalasHapusstyle rambutnya bum jo mirip choi young do. :))
BalasHapuskim young gwang gak pantes pake style rambut begituuuuuuuuuuuuuuu.... >_<
Ini reporter"bando" memang cocok kali y jd repoter,d PMAI kan juga jd reporter ya mbak,,,cpt skli n keren gomawo mbak fanny
BalasHapusthaks mbk sinopsisnya.,
BalasHapussemangat mbk lanjutin sinopsisnya.,
bacanya ampe ndk napas"
Daebaaak.... Makin suka sm ini drama, ckckck.... itu cha ok hatiny dingn bngt y... Kasihn in ha... Makaciih sist :) dtnggu part 2ny
BalasHapusDitunggu part 2 nya mbak ^^
BalasHapushttp://switlovshop.yukbisnis.com
mba fanny daebak dah da aja sinopsisnya
BalasHapusmakin seru ja,,,dal po tak bisa kah kau jgn sedingin itu,,hemz
jd semakin wah....gmana jdx kalo in ha satu klompok dngan bom joo d tmpat kerja si dal po pasti gerah...........
BalasHapuslee jong suk sangat ok main drama yg genrex kyak gni sama kyak drama i can hear your voice ada misterix gtu...ok bgt
BalasHapusSuka suka sukaaaaaa......
BalasHapuskbayang ga klo dal po yg kena sindrom pinokio..??pasti btaun taun doi cegukan krn ga bisa akuin prasaannya ke in haa....
BalasHapusthx yaa mba admin...klo bisa dpercepat episode 6nyaa...
maaf yaaa...pnasaran bgt mba..xixi
keychaa
meski in ha sedang cegukan dan menangis, masih bisa2 nya jadi kasir yg teliti, mulai dari memastikan ahjussi yang membeli bir, bahkan menasihati anak sekolah agar belajar dgn rajin agar tidak menjadi seperti in ha yg sudah 3 tahun tetap tidak lulus menjadi reporter...
BalasHapusbener kata mbak fan, kalau dal po sebenarnya menanyaan perasaannya sendiri ke in ha....
tapi sayang, jawaban in ha membuat dal po tidak bisa apa-apa... dilema si abang...
ada beruntungnya juga in ha memiliki syndrom pinokio, setidaknya lebih merasa lega setelah mengungkapkan perasaannya, kasian si abang, yang dari dulu memendam dalam2 perasaannya.....
tenang... karena sang ayah mertua juga udah tau, setidaknya kalau pun dal po yang gak mau bilang, ayah in ha mungkin yang akan melakukannya...heheheh
ngayal lagi .....
ih aku giri-giri dech mau komen untuk part 2-nya.....
BalasHapusha myung dan jae myung ini ibarat soo ha dan joon gook.....
cara mereka melihat dunia setelah kematian ayah mereka diketahui,
jae myung yang mengira kalau sekarang ia sendirian,
sedangkan ha myung malah mendapat secercah harapan akan menemukan hyung-nya dan mengungkapkan kebenaran tentang ayahnya .....
Part 2 ny mna mb?? Dbolak blik blm nongol2 ....
BalasHapusdaebak,, bacanya ampe gak napas,, dtunggu y part 2 nya
BalasHapusKakaaakkkk, part 2 dong ������������������
BalasHapusBner juga bum jo..mendingan cegukan dr kentut...ga kebayang setiap bohong kentut terus...bwahahahahaha...makasihbmba fany...
BalasHapusakhirnya udah ada... baru bisa buka nich, langsung dibaca sinopsisnya mbak. makasih...
BalasHapusMmmmhhh, itu kalo sindrom yg begitu kalo dia buat pengakuan sama dirinya sendiri dan ga usah ngaku di depan orang lain emang ga bisa ?? Yang penting kan dia udah jujur...
BalasHapusHhehehehe, tiba2 mikir nya kaya begitu
astaga, Bum Jo!! omongannya seputar kebohongan dan kentut itu gokil abis. In Ha yang gampang curhat sana sini membuatku berpikir tentang diriku sendiri. hahahaha XD
BalasHapusaku takut Jae Myung kalap terhadap dendamnya. Tuhan, memiliki dendam itu memang benar2 menakutkan U.U
akhir bagian satu membuatku kaget. In Ha pun jujur pada perasaannya. ah, tapi sangat disayangkan karena Dal Po msh dingin sama In Ha U,U
sekian, terima kasih untuk sinopsisnya
semangat menulis!!!