Sinopsis
Episode 2-2:
Cha Sik menemukan
tongkat Yoo Seul yang terjatuh. Ia hendak mengembalikannya namun terdengar
suara keras ibu Yoo Seul.
“Apa kau sudah
gila?! Sudah Ibu bilang jangan pernah naik sepeda! Bagaimana jika tanganmu
terluka? Kau tidak akan bisa main piano lagi.” Speechless deh sama ini ibu
>,<
Ibu bertanya
apakah ini pilihan yang Yoo Seul buat. Berkeliaran dengan berandalan bodoh
seperti Cha Sik? Itukah sebabnya Yoo Seul ingin berhenti piano dengan alasan
ingin membuat pilihan sendiri? Oucchhh…wajah Cha Sik saat mendengar itu :(
“Cha Sik tidaklah
bodoh! Dan dia juga bukan berandalan!,” Yoo Seul membela Cha Sik.
“Kau tidak bisa
melihatnya jadi jangan berani--beraninya kau melawan. Ibu langsung tahu begitu melihatnya. Ia
terlihat jahat dan picik!”
“Jangan hakimi dia
dari penampilannya! Dia tidak layak mendapat penilaian seperti itu! Dan apa
yang Ibu katakan lebih kejam dan picik dari apapun di dunia!”
Tutup mulutmu!!
Ibu menampar Yoo Seul. Yoo Seul tertegun sambil memegangi pipinya. Begitu juga
Cha Sik yang mendengar dari luar.
“Kau sendiri yang
mengatakan kalau kau tahu apa yang Ibu korbankan demi dirimu. Jika kau begitu
tahu, mengapa kau mengecewakan Ibu?! Ibu kira jika Ibu menunggumu, kau akan
sadar. Ibu kira kau akan datang dan meminta maaf. Tapi kau hanya semakin
memburuk,” kata Ibu tanpa menyadari Yoo Seul yang terlihat shock dan gemetar
karena tamparan tadi. Ia malah bertanya apa Yoo Seul begitu membencinya.
“Aku seperti ini
karena aku tidak mau membenci Ibu!!” Yoo Seul setengah berteriak.
Sambil menahan
tangis ia berkata ini pertama kalinya ia naik sepeda dalam hidupnya. Dan itu
begitu menyenangkan.
“Begitu
menyenangkan hingga aku berpikir….pasti akan lebih menakjubkan jika aku bisa
melihatnya. Begitu banyak hal yang kusesali sejak aku kehilangan penglihatanku.
‘Aku seharusnya pergi ke pantai’. ‘Aku
seharusnya nonton di bioskop’. ‘Kebun binatang itu seperti apa’? Aku seharusya
melihat semuanya saat aku masih bisa melihat!
Mengapa Ibu selalu
menyuruhku main piano? Mengapa ia melarangku pergi ke mana-mana dan melakukan
hal-hal lain?! Aku sangat marah dan sangat menyesalinya!!”
Ibu terhenyak
mendengar penuturan Yoo Seul. Tapi ia belum mau mengalah. Ia berkata untuk apa
Yoo Seul marah. Yoo Seul sudah mendapat lebih banyak dengan tidak melakukan
semua itu.
“Lihatlah semua
penghargaan dan piala-piala itu!” Ibu menunjuk rak yang dipenuhi piala Yoo
Seul. “Itu apa? Apa semua itu juga penyesalan? Kau gembira ketika kau menang.”
“Tidak! Ibu yang
senang karena piala-piala itu milik Ibu. Aku tidak pernah satu kali pun
menganggap semua itu milikku. Karena aku menjalani hidup yang telah Ibu pilih
untukku, aku tak bisa tidak menyalahkan Ibu setiap kali aku menyesali pilihan
itu.”
Yoo Seul berkata
ini adalah hidupnya dan tidak seharusnya ia menyalahkan ibunya atas hidupnya.
Karena itu mulai sekarang ia yang akan membuat pilihan sendiri dan menyalahkan
dirinya sendiri atas pilihan yang ia buat.
Ibu terdiam dan
menangis meski tak mau memperdengarkannya pada Yoo Seul. Di luar, Cha Sik sudah
pergi. Ia meninggalkan tongkat Yoo Seul tersandar di pintu.
Ibu melihat semua
penghargaan dan piala Yoo Seul. Dan foto-foto saat Yoo Seul memenangkan semua
itu.
Keesokan harinya
Cha Sik muncul mengenakan jas dan kacamata, dengan gaya rambut klimis. Ia
menyapa ibu Yoo Seul dengan ramah.
“Bagaimana
penampilanku? Apa aku masih terlihat seperti berandalan bodoh?” tanyanya.
“Apa kau punya
kebiasaan menguping?” Ibu balik bertanya dengan ketus.
Cha Sik meminta
maaf. Ia berkata ia bukan sengaja menguping, tapi tidak sengaja mendengar.
Yoo Seul keluar
dari rumah. Cha Sik sekali lagi menanyakan pendapat ibu.
“Kau tidak
terlihat seperti berandalan tapi seperti preman yang sedang berkeliling menagih
uang,” kata ibu.
Malamnya Cha Sik
bercerita pada ibunya. Ibu tidak terima puteranya dikatakan seperti itu. Lalu
apa Cha Sik membiarkan ibu Yoo Seol berkata seperti itu.
“Tentu saja
tidak!” kata Cha Sik.
“Bagus, tentu saja
kau tidak bisa membiarkannya. Jadi apa yang kaukatakan?” tanya ibu.
“Aku bilang: aku
minta maaf.”
Kembali pada
peristiwa pagi tadi. Cha Sik meminta maaf karena ia terlihat seperti preman
yang sedang berkeliling menagih uang. Sambil membungkukkan badan segala XD
“Tapi apa yang
salah dengan pakaianku?” tanyanya polos. “Jika Nyonya memberitahu, Nyonya akan
melihat gaya berpakaianku meningkat.”
“Kau ini bodoh
atau kau ingin mempermalukannya (Yoo Seul)?”
Tidak keduanya,
jawab Cha Sik sambil tersenyum. Yoo Seul yang sudah memilihnya. Jadi ini adalah
tekadnya untuk tidak mengecewakan Yoo Seul.
“Aku tidak bisa
tiba-tiba berpakaian dengan baik, tapi aku akan berusaha sebaik-baiknya hingga
Nyonya menyukai cara saya berpakaian,” kata Cha Sik tegas sambil membungkukkan
badan.
Ia memegang tangan
Yoo Seul dan memasukkannya ke saku jasnya. Mereka pun pergi.
Ibu masih mengomel
sendiri. Tapi setelah keduanya pergi, ia melihat mereka dengan tatapan
melembut. Sepertinya ia mulai tersentuh dengan sikap Cha Sik.
Dalam perjalanan,
Yoo Seul bertanya adakah yang Cha Sik inginkan. Ia merasa ia berhutang banyak
pada Cha Sik juga atas perlakuan ibunya. Ia merasa tak enak dan ia tak tahan
merasa berhutang pada orang lain.
“Tidak apa, kau
tidak perlu minta maaf” kata Cha Sik. Tapi lalu ia mendapat ide. Ia berkata ada
sesuatu yang ia ingin Yoo Seul lakukan dibandingkan dengan minta maaf.
Cha Sik membawanya
ke depan piano nyentrik dalam terowongan. Cha Sik ingin mendengar Yoo Seul
bermain piano.
“Tidak mau. Sudah
kubilang aku berhenti main piano.”
“Ayolah, kau
bilang kau ingin impas tapi ternyata itu tidak benar. Kau berhutang banyak
padaku tapi sepertinya kau biasa saja. Kau ini berlawanan dengan kata-katamu
sendiri.”
“Baik! Aku akan
mainkan untukmu!” kata Yoo Seul kesal.
Cha Sik dengan
gembira membimbing Yoo Seul ke depan piano. Dalam hatinya Yoo Seul
bertanya-tanya apakah ia bisa memainkannya.
“Kuharap kau
memainkan lagu yang kutahu,” kata Cha Sik.
“Memangnya ada
lagu yang kautahu?” sergah Yoo Seul.
Yoo Seul menekan
beberapa tuts dan berkata suaranya persis seperti suara Cha Sik. Murahan dan
jelek.
“Hei! Apa kau dan
ibumu bersekongkol mengataiku!” protes Cha Sik. Ia berkata ini sih bukan
permintaan maaf namanya.
Yoo Seul
menjawabnya dengan memainkan jarinya pada piano.
“Whoah, daebak!!”
seru Cha Sik kagum.
Yoo Seul melarang
Cha Sik memberitahu siapapun kalau ia memainkan piano di sana. Cha Sik berkata
ia akan membawa rahasia ini ke kuburnya.
“Memangnya Ibumu
ini kuburanmu?” ujar Ibu sambil tersenyum geli saat Cha Sik menceritakan
kejadian itu malam harinya. Keduanya sedang menempel iklan jasa menulis ibu di
tiang-tiang listrik.
Apa maksudnya,
tanya Cha Sik bingung. Ini anak pinter atau ngga sih hahaha^^
“Kau bilang kau
akan membawa rahasia itu ke kuburmu tapi sekarang kau membocorkannya pada Ibu.”
Ibu berkata jika
Cha Sik menyimpan rahasia darinya maka Cha Sik sudah dewasa. Sekarang ia tidak
yakin apakah Cha Sik sudah dewasa.
“Iya..iya..maaf
aku sudah seperti anak kecil. Aku akan jadi dewasa. Jadi aku tidak akan lagi
membagi rahasia dengan ibu. Senang sekarang?” Cha Sik merajuk.
“Aduh, Tuan
Jeong…Tuan Jeong, kau ngambek lagi. Apa kau ngambek?” tanya Ibu. Cha Sik
cemberut tak mau menjawab.
Haha..Cha Sik
langsung berceloteh mengenai kehebatan Yoo Seul. Menurutnya Yoo Seul adalah
pianis terbaik ke-2 setelah ayahnya.
“Apa Ibu tahu
rasanya? Seperti pelangi yang terdengar indah. Luar biasa indah….hingga
mengubah manusia menjadi malaikat, dan membuat dunia menjadi seperti surga,”
Cha Sik memejamkan matanya mengingat kembali suara indah yang diperdengarkan
Yoo Seul melalui alunan pianonya. Yoo Seul memainkan Symphony No. 9 Beethoven
(yang kemudian bagian akhirnya digunakan pada lagu Joyful Joyful We Adore
Thee).
Cha Sik berkata ia
merasa sangat bahagia hanya dengan melihatnya. Seperti pelangi yang tak pernah
ia inginkan untuk berlalu.
“Pasti sangat
indah,” kata ibu.
“Iya, dan Ibu tahu
apa yang lucu? Aku mulai mendengar lagu yang sama dalam mimpi-mimpiku
akhir-akhir ini.”
Ibu bertanya mimpi
apa itu. Cha Sik menahan senyumnya sambil berkata ia tidak tahu karena ia lupa begitu ia bangun.
Heee…mencurigakan ;p
“Kau bilang kau lupa
tapi bagaimana kau ingat musiknya?”
Ibu mendapat
telepon dari seorang kliennya yang marah-marah karena tidak diterima bekerja.
Menurut klien itu, ia tidak diterima bekerja di mana pun gara-gara CV yang
dibuat ibu. Ibu terpaksa berkata ia akan mengembalikan uang klien tersebut.
Cha Sik kesal
setelah mendengar hal itu. Ia hendak memarahi balik klien ibunya. Tapi ibunya
menenangkannya. Ia berkata mungkin kliennya memang benar.
“Bagaimana bisa ia
benar? Ia seharusnya tidak menyalahkan Ibu padahal salahnya sendiri ia tidak
mendapat pekerjaan.”
“Jujur saja, jika
ibu menulis CV yang bagus, ibu tidak akan hidup seperti ini pada usia seperti
ini. Aku seharusnya sudah bekerja dan bisa membeli rumah,” giliran Ibu yang
terlihat sedih.
Dan kesedihan
ibunya adalah kesedihan Cha Sik. Tapi ia tidak akan membiarkan ibunya larut
dalam kesedihan.
“Nyonya Jung,”
bujuknya. “Ibu, tunggulah. Aku akan mencari banyak uang, membeli bangunan dan
membuat Ibu pemilik gedung paling kaya. Dan ibu tidak perlu melakukan ini lagi.
Ibu tidak perlu lagi berkeliaran malam-malam menempel poster. Ibu tidak akan
menerima telepon seperti tadi lagi. Ibu tidak perlu memasak dan bersih-bersih.
Dan aku akan membuat Ibu pergi jalan-jalan dan belanja ke luar negeri,” katanya
sungguh-sungguh.
Ibu tersenyum. Ia
bisa merasakan betapa bagusnya Yoo Seul memainkan piano. Karena kata-kata Cha
Sik tadi terdengar seperti pelangi itu. Pelangi yang membuat dunia terlihat
seperti surga. Cha Sik tersenyum senang.
Murid-murid
perempuan di kelas Yoo Seul mengganti seragam mereka dengan seragam olahraga di
kelas. Sementara para murid pria disuruh keluar di saat mereka berganti
pakaian.
Gyoo Sun (murid
yang melihat Jin Mok membenahi sandal Yoo Seul) menyadari Yoo Seul tidak ada di
kelas. Tapi yang lain tidak peduli karena Yoo Seul memang terbiasa berganti
pakaian sendirian di tempat lain. Gyoo Sun tetap khawatir karena Yoo Seul
sekarang tidak bisa melihat.
Cha Sik mengantar
Yoo Seul ke kelas kosong. Tadinya ia hendak berjaga-jaga di kelas itu tapi
tentu saja Yoo Seul mengusirnya.
Setelah menutup
pintu, Yoo Seul mulai melepas seragamnya. Ia tidak tahu kalau ada murid iseng
yang merekamnya dengan ponsel.
Tiba-tiba
terdengar suara seseorang memanggil murid iseng tersebut. Untunglah Yoo Seul
baru membuka seragam luarnya. Ia cepat-cepat berjongkok begitu mendengar suara.
Orang itu membawa si murid iseng pergi dengan alasan tidak tahu di mana kelas olahraga hari ini.
Ia adalah Jin Mok yang memergoki perbuatan memalukan murid iseng tersebut.
Setelah jauh, Jin
Mok menegur murid tersebut dengan keras. Murid itu berkata ia hanya mengambil
foto sambil lewat. Jin Mok merebut ponsel murid tersebut lalu membantingnya ke
lantai.
“Bersyukurlah aku
tidak membawanya ke polisi,” kata Jin Mok.
Tapi murid itu
berkata apa yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Ia menyalahkan Yoo Seul yang
mengundang perbuatan semacan itu karena berganti pakaian di tempat terbuka.
“Dan lagi ia tidak
bisa melihat, jadi ia tidak akan tahu.”
Jin Mok marah dan menyerang
murid tersebut. Keduanya hampir berkelahi jika tidak dipisahkan oleh
murid-murid lain.
Jin Mok pulang
dengan tangan berbalut perban akibat pertengkaran tadi. Ia bergabung dengan
keluarganya untuk makan malam. Ayahnya bertanya apakah ia sudah siap untuk bermain
piano dalam acara pernikahan salah satu kerabat mereka.
Jin Mok
menunjukkan tangannya yang terluka dan berkata sepertinya akan sulit baginya
untuk bermain piano. Ibunya bertanya apa yang sudah terjadi.
Tapi yang lebih
dikhawatirkan ayahnya adalah Jin Mok yang tidak bisa bermain pada pernikahan
itu. Ia menyuruh ibu Jin Mok menelepon kerabat mereka untuk memberitahu situasi
ini.
“Apakah mereka
bisa mencari gantinya dalam waktu 2 hari?” ujarnya. Ia menyuruh kakak Jin Mok
untuk mencari soal itu.
“Apakah hanya itu
yang Ayah khawatirkan?” tanya Jin Mok. “Apakah Ayah lebih mengkhawatirkan hal
itu daripadaku? Puteramu yang seorang pianis terluka tangannya. Tidakkah Ayah
seharusnya bertanya bagaimana dan kenapa aku bisa terluka? Seorang Ayah
seharusnya seperti itu.”
Ayahnya menghela
nafas panjang dan bertanya apakah Jin Mok sedang merengek lagi.
“Iya, aku merengek lagi. Kukira Ayah akan
khawatir padaku begitu melihat tanganku,” kata Jin Mok emosi.
Ayah bertanya
apakah Jin Mok merengek seperti ini karena tidak cukup percaya diri sebagai
pianis.
“Biasanya seorang pengecut
merasa terluka jika diabaikan. Mereka memohon dan merengek minta perhatian. Seperti
yang kaulakukan sekarang. Kau membodohi dirimu dan mulai bermain piano karena
menganggap dirimu tidaklah buruk. Jika kau terus membodohi dirimu sendiri, kau
hanya semakin terluka. Kau akan kehilangan kepercayaan diri dan pada akhirnya
kau akan semakin merengek. Apa Ayah salah?”
Jin Mok terdiam.
Cha Sik melihat
para murid mengerubungi sebuah poster. Karena penasaran, ia bergabung dengan
mereka. Itu adalah poster kompetisi 2 piano.
“Bukankah itu saat 2 orang memainkan piano
bersama-sama?” tanyanya.
“Memangnya
kaupikir 12 orang memainkan 2 piano?” Sang Pil balik bertanya dengan ketus.
“Apa ini untuk
tahun ini?” Cha Sik terus bertanya
“Memangnya kau
pikir mereka akan menempel poster untuk tahun kemarin? Kau ini…”
“Dilahirkan
kembali,” jawab Jin Mok mendekat. Murid-murid yang lain tertawa membenarkan.
“”Berhenti
bercanda dan beritahu aku apa yang harus kulakukan,” protes Cha Sik kesal.
Jin Mok berkata ia
tidak bercanda. Tidak masuk akal untuk orang tak berotak seperti Cha Sik ingin
ikut kompetisi. Cha Sik berkeras ia dilahirkan berbakat.
“Atas dasar apa?
Apa peramal yang mengatakan kau berbakat seni? Atau golongan darahmu sesuai
dengan takdir seorang seniman?” olok Jin
Mok.
Murid-murid yang
lain ikut mengolok Cha Sik. Akhirnya Cha Sik tak tahan lagi dan berkata ayahnya
adalah Hyun Myung Sae. Semua terdiam.
“Bagaimana? Apa
masih tedengar seperti seperti gurauan? Apa sekarang aku terlihat berbeda?”
tanya Cha Sik.
“Hei, kau itu
harus berpikir lebih dulu sebelum berbohong,” kata Sang Pil. “Hyun Myung Sae
itu tidak menikah. Bagaimana bisa kau mengarang cerita seperti itu?”
Gyoo Sun berkata jika hanya foto itu buktinya maka akan ada jutaan anak yang mengaku anak Hyun
Myung Sae karena pianis itu selalu berfoto dengan fans-nya setelah pertunjukan.
Murid lain mengaku bibinya juga memiliki foto seperti itu. Ada juga yang menganggap
foto itu hasil rekayasa.
Ada yang berkata
Cha Sik bisa dituntut Hyun Myung Sae karena merusak nama baiknya. Dan ada yang
mengolok Cha Sik terlalu banyak nonton TV.
“Delusional
seperti ini merupakan penyakit jiwa, tahu?”
Diolok dan diejek
seperti itu membuat Cha Sik marah.
“Jika aku
memenangkan juara pertama kompetisi ini, apakah itu akan membuktikan aku
puteranya?!” tantangnya.
“Juara pertama itu
berlebihan. Aku akan percaya jika kau bisa melewati tahap awal,” kata Jin Mok.
Murid-murid lain setuju.
Oke setuju, kata
Cha Sik. Ia pergi setelah menepuk bahu Jin Mok.
Setelah Cha Sik
pergi, murid-murid membicarakannya. Gyoo Sun bertanya-tanya apakah Cha Sik akan
lolos tahap awal. Tidak mungkin, kata Sang Pil.
“Dia tidak akan
bisa menemukan partner.”
“Bagaimana jika ia
berpasangan dengan Yoo Seul?” tanya Gyoo Sun.
Dan itulah yang
dikatakan Yoo Seul ketika Cha Sik memberitahunya perihal kompetisi itu. Ia
menyuruh Cha Sik mencari dokter jiwa.
“Aku lebih dari
normal saat ini,” kata Cha Sik.
“Tidak. Sejak aku
bertemu denganmu, kau tidak pernah normal. Apa kau tahu apa artinya normal?
Bagaimana bisa kau selalu gila?”
Cha Sik berkata
waktu kompetisi masih 3 bulan lagi dan lagi mereka hanya perlu memainkan satu
lagi. Jika ia latihan mati-matian, ia akan bisa bermain cukup baik untuk ikut
kompetisi.
Yoo Seul berkata
masalahnya bukan Cha Sik anak Hyun Myung Sae atau bukan.
“Bahkan anak Mozart tidak akan bisa
melakukannya. Aku tidak tertarik terlibat dalam taruhanmu. Jika kau ingin
orang-orang percaya kau puteranya, ikuti tes DNA. Itu lebih masuk akal.”
“Apa kau pikir aku
akan kalah?”
“Apa aku pikir kau
akan kalah? Cobalah berpikir dari sudut pandangku. Jika aku berlatih lompat
galah selama 3 bulan untuk mengikuti kompetisi, apa menurutmu aku akan menang?”
Tidak, Cha Sik
mengakui. Yoo Seul berkata beberapa hal memang tidak bisa dipaksalan. Kompetisi
adalah untuk pianis yang sudah 10 tahun belajar piano.
“Berpikir kau bisa
menyusul dalam waktu 3 bukan hanya ceroboh, tapi tak sopan.”
Sikap Cha Sik yang
tak biasanya membuat Yoo Seul jadi tak enak hati. Apalagi sepanjang perjalanan
pulang, Cha Sik sangat diam.
Cha Sik teringat
percakapan malam itu dengan ibunya. Sebenarnya ia ingat mimpinya namun tidak
menceritakan pada ibunya. Ia menyimpan rahasia dari ibunya.
“Dalam mimpiku,
aku bermain piano dengan Yoo Seul. Dalam mimpiku aku tidak terlihat seperti
berandalan dan tidak terlihat seperti preman. Tentu saja, aku mungkin terlihat
seperti seorang playboy, tapi aku tetap terlihat sebagai pianis hebat.
Dalam mimpiku, Yoo
Seul tidak kehilangan penglihatannya. Terkadang ia melihatku dan tersenyum. Dan
senyumnya sangat menawan. Mimpi itu begitu indah hingga aku ingin hidup di
dalam mimpi itu.”
Ia menghentikan
sepedanya di depan piano nyentrik dalam terowongan. Yoo Seul bertanya mengapa
Cha Sik berhenti.
“Yoo Seul, jika
aku bisa memainkannya apakah itu artinya aku memiliki potensi?” tanyanya.
“Bagaimana kau
bisa memainkannya? Berhentilah bicara omong kosong.”
Yoo Seul bertanya
bagaimana bisa Cha Sik begitu percaya diri seperti ini. Ia terpikir sesuatu dan
turun dari sepeda sambil tersenyum mengerti.
“Cha Sik, kau
pasti berpikir aku gampangan ya? Apa aku terlihat mudah tertipu? Aku tahu ada
seseorang di sini yang akan memainkan piano untukmu sementara kau berpura-pura
memainkannya.
Jangan coba-coba
membodohiku. Siapa sekutumu? Sebaiknya kau mengaku. Gyoo Sun? Sang Pil? Tidak
mungkin Jin Mok, kan?? Tidak mungkin…psikopat itu tidak akan berurusan dengan
orang sepertimu.”
Cha Sik turun dari
sepeda. Lalu menggendong Yoo Seul dan mendudukkannya di depan piano. Yoo Seul
meronta-ronta pada awalnya.
Cha Sik meraih tangan
Yoo Seul dan menaruhnya di tangannya sendiri. Lalu ia mulai menekan tuts piano.
Yoo Seul terpaku. Itu adalah melodi Symphony
No. 9 yang pernah ia mainkan.
“Itu adalah mimpi
yang sangat singkat. Tapi itu adalah mimpi yang akan kuingat seluruh hidupku.
Aku tidak bisa membiarkannya hanya menjadi mimpi.”
Ternyata Cha Sik
telah berlatih sendiri bermain piano. Mulai dari posisi jari dan cara menekan
tuts. Berhari-hari ia berlatih. Berkali-kali ia gagal tapi ia tidak putus asa
dan mencoba lagi. Hingga jarinya terluka dan penuh perban. Bahkan pada malam
hari saat tak ada siapapun ia berlatih sendirian.
Cha Sik
menyelesaikan permainan pianonya dengan baik. Perasaan Yoo Seul campir aduk
mendengarnya.
“Apa kau masih
tidak percaya padaku?” tanya Cha Sik.
“Mari kita
mengikuti kompetisi bersama, Yoo Seul.”
“Mimpiku mulai menjadi kenyataan….”
Komentar:
Kalau semua orang
begitu gigih seperti Cha Sik, sepertinya tidak akan ada orang gagal di dunia
ini^^
Yoo Seul adalah
seorang yang berbakat piano secara alami. Namun ibunya terlalu memaksanya
hingga Yoo Seul merasa bakatnya adalah beban baginya. Ia menyesali
bakatnya. Tapi sepertinya mau tidak mau ia harus mengakui bagaimanapun juga
piano adalah bagian dari hidupnya. Buktinya ketika ia memainkan piano untuk Cha
Sik, ia terlihat memainkannya dengan penuh perasaan.
Di sisi lain, Jin
Mok adalah seseorang yang ingin berbakat piano. Ia merasa dirinya berbakat dan
merasa tidak butuh diajari orang lain. Tapi karena perkataan ibu Yoo Seul saat
ia kecil dan juga melihat kejeniusan Yoo Seul, rasa percaya dirinya runtuh dan ia
berulang kali membutuhkan pengakuan kalau ia berbakat.
Apalagi dengan
ayahnya yang juga menganggap Jin Mok hanya membodohi dirinya sendiri karena
menganggap dirinya berbakat. Bukan dukungan yang ia dapat, tapi rasa pesimis
dan perasaan diabaikan.
Di antara mereka,
muncullah Cha Sik. Seorang yang sama sekali tidak pernah belajar musik.
Berbekal keyakinan bahwa ia anak seorang pianis terkenal, ia merasa percaya
diri dan yakin kalau ia berbakat. Mungkin awalnya ia ingin menjadi pianis karena merasa
ayahnya seorang pianis (yang sepertinya masih perlu dibuktikan lagi apakah Hyun
Myung Sae benar-benar ayahnya). Tapi ia terpikat dengan suara alunan piano Yoo
Seul dan benar-benar ingin menjadi pianis juga.
Sebenarnya memang agak
tidak masuk akal Cha Sik bisa memainkan lagu sesulit itu dalam waktu singkat
meski ia berlatih mati-matian. Tapi poinnya adalah kerja keras dan kegigihannya
membuahkan hasil.
Dari ketiganya, terlihat
jelas perbedaannya. Yoo Seul yang berbakat tapi ingin berhenti. Jin Mok yang berusaha
meyakinkan dirinya berbakat tapi dalam hatinya ia tidak percaya diri. Cha Sik
yang tidak berbakat tapi penuh percaya diri.
Ada pepatah
mengatakan kejeniusan itu hanya 10% sedangkan 90% sisanya adalah kerja keras. Cha
Sik membuktikan itu.
Karakter Cha Sik
sungguh menawan. Siapa yang tidak jatuh hati dengan kepribadian seperti itu?
Dan kedekatannya dengan ibunya sangat menyenangkan untuk dilihat. Bisa dilihat
kepercayaan diri Cha Sik adalah karena ibunya.
Tapi justru karena
Cha Sik yang begitu percaya diri dan positif, entah kenapa aku sedikit lebih
memihak Jin Mok. Saking positifnya, aku merasa Cha Sik akan bertahan dalam
situasi apapun. Sementara Jin Mok membutuhkan seseorang yang bisa mendukungnya.
Errr…dan juga karena perhatian diam-diam Jin Mok yang ngegemesin ;p
Sepertinya sulit melihat
Yoo Seul berbalik sikap pada Jin Mok. Apa mungkin justru Cha Sik yang bisa
menolong Jin Mok?
buat org yg awalnya nyebut piano itu keyboard dan allegretto itu arigato, cha sik trmsk jeniuslah.. ^^
BalasHapusAku penggemar tulisan mba sejak dari zaman secret garden,maaf karna ga baru meninggalkan jejak sekarang. .
BalasHapusiya aku juga entah kenapa lebih mihak jin mok daripada cha sik,seperti yg mba bilang diatas cha sik bisa melewati segala bentuk kesulitan dengan sikap positifnya tapi kalo jin mok dia agak sedikit rapuh,
proyek mba selanjutnya apa? request dong mba bikin sinopsisnya drama moonlight drawn by cloud nya park bo gum aja kalo bisa~