Gangwondo 430 tahun yang lalu....
Dam Ryeong melepaskan beberapa lentera bersama anak-anak desa. Anak-anak sangat gembira melihat indahnya lentera itu. Namun salah satu lentera tertiup angin ke arah yang berlawanan dari lentera-lentera lainnya.
Tak lama kemudian Dam Ryeong pergi untuk mencari lentera yang tersesat itu. Ia melihat lentera itu tersangkut di bebatuan dekat laut. Ia sempat melihat seseorang di balik lentera itu.
“Siapa itu?” tanyanya. “Jangan takut dan keluarlah.”
Puteri duyung muncul dari balik bebatuan.
“Itu adalah ikatan takdir yang seharusnya tidak boleh dibuat. Tapi karena sudah terjadi, ikatan takdir itu sudah pasti akan berlanjut. Mereka akan bertemu lagi.”
Mendengar perkataan budaknya tersebut, bangsawan Yang tersenyum licik. Karena takdir keduanya akan terus berlanjut maka ia hanya perlu mengikuti walikota agar bisa menangkap puteri duyung kembali.
“Kau bilang padaku agar tidak takut tapi sebenarnya kau yang merasa takut?” tanya puteri duyung.
Walikota terkejut melihat puteri duyung bisa berbicara. Puteri duyung berkata tak ada alasannya ia tidak bisa melakukan apa yang manusia bisa lakukan. Walikota bertanya kenapa pada hari itu puteri duyung tidak mengatakan apapun.
“Aku mengatakannya hanya saja tidak didengar,” kata puteri duyung.
Kilas balik pada malam pesta saat bangsawan Yang memperlihatkan puteri duyung pada Dam Ryeong. Puteri duyung menatap Dam Ryeong dan berkata dalam hatinya, “Tolong aku.”
“Puteri duyung bisa mendengar pikiran satu sama lain jadi tidak ada alasan untuk berbicara,” kata puteri duyung.
Dam Ryeong bertanya apakah manusia tidak bisa mendengar pikiran puteri duyung. Puteri duyung bercerita dulu ada seorang anak laki-laki yang mencintai puteri duyung dan mendengar suara puteri duyung.
“Apa yang terjadi pada anak laki-laki yang mencintai puteri duyung?” tanya Dam Ryeong.
Puteri duyung menatap Dam Ryeong dengan sedih. Melihat para nelayan mulai berdatangan, Dam Ryeong tahu sudah waktunya bagi puteir duyung untuk pergi. Ia bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi.
“Jika lentera harapan melintas di atas laut, aku akan menganggapnya sebagai tanda untuk kita bertemu lagi,” kata puteri duyung. Lalu ia kembali ke dalam air.
Bangsawan Yang mengirim mata-mata untuk mengawasi Dam Ryeong dengan ketat. Mata-mata itu melaporkan kalau Dam Ryeong meminta sesuatu yang aneh pada pasukannya. Ia membisikkan apa yang ia tahu pada bangsawan Yang.
Puteri duyung melihat sesuatu yang bersinar di permukaan air. Ia berenang ke permukaan dan melihat untaian lentera melintasi langit malam. Puteri duyung terpukau melihat pemandangan indah itu. Kemudian ia melihat perahu Dam Ryeong pelan-pelan mendekatinya. Puteri duyung tahu Dam Ryeong ingin bertemu dengannya.
Kembali ke masa kini saat Joon Jae menyambut uluran tangan puteri duyung. Ia membantu puteri duyung bangkit berdiri.
“Apa kau tahu apa yang paling kubenci? Pergi tanpa berpamitan. Karena itu aku datang, untuk berpamitan sebelum pergi. Tak ada alasan lain,” kata Joon Jae. Ia melihat puteri duyung memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan. Joon Jae berkata ia sudah melakukan apa yang ia mau lakukan jadi ia akan pergi. Ah masa tega sih?^^
Joon Jae menoleh pada puteri duyung yang duduk di sampingnya. Meski puteri duyung sudah mengenakan jas Joon Jae, ia masih terlihat kedinginan. Joon Jae menghentikan mobilnya di depan sebuah kafe lalu membelikannya kopi meski hujan turun dengan lebatnya.
Sebelum memberikan pada puteri duyung untuk diminum, ia meniupi kopi itu dulu. Puteri duyung mengamati apa yang dilakukan Joon Jae. Sudah bisa ditebak, ia mulai meniru dan meniupi kopi itu dengan sekuat tenaga.
“Berhentilah meniup dan minumlah. Apa kau benar-benar tidak memiliki tempat tujuan? Rumah atau wisma atau orang yang bisa dihubungi? Seorang wali atau teman atau semacamnya?”
Joon Jae hanya mendengar suara decapan. Ini pertama kalinya puteri duyung minum kopi dan ia sangat menyukainya sampai-sampai tidak rela menyisakan setetespun. Untung cangkirnya tidak ikut dimakan ;p
Joon Jae mulai menyesal karena tidak jadi pergi. Ia menggerutu seharusnya ia pergi saja. Tapi sekarang ia sudah terjebak.
Joon Jae membawa puteri duyung ke sebuah hotel indah yang dibangun di tepi tebing tinggi dekat laut. Kamar hotel itu sangat luas dan indah. Walah... lebih besar dari rumahku itu sih^^
Bukan hanya puteri duyung, orang biasa juga bakalan takjub melihat kamar hotel sebesar itu. Joon Jae memberikan pakaiannya agar puteri duyung bisa berganti pakaian dengan pakaian kering dan bersih. Sementara ia masuk ke dalam untuk mandi.
Puteri duyung malah tertarik pada kartu yang dimasukkan dalam slot hingga membuat semua lampu menyala. Ia mencabut kartu itu dan seketika itu juga semua padam. Ia memasangnya lagi dan mencabutnya lagi. Joon Jae berteriak dari kamar madndi agar kartu itu tetap terpasang. Tapi puteri duyung keasyikan bermain dan berulangkali cabut-pasang kartu itu dengan cepat hingga seperti lampu disko.
Joon Jae terpaksa keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan kimono. Puteri duyung cepat-cepat menyembunyikan kartu di punggungnya. Joon Jae berdiri sangat dekat dengan puteri duyung dan itu membuatnya tersipu. Ketika Joon Jae melihatnya, ia terkejut dan melarangnya bersikap seperti itu.
“Jangan lakukan itu! Jangan tersipu! Tipe idealku adalah wanita pintar, sama sekali bertolakbelakang denganmu! Agar kau tidak salahpaham, kukatakan dengan jelas ya. Alasan aku membawamu ke sini adalah karena sudah tengah malam dan hujan dan kau agak tak waras jadi aku membiarkanmu menginap semalam. Itu saja. Jadi jangan berpikir aku tertarik padamu atau berencana mempergunakan kesempatan untuk merayuku. Tinggalkan harapan sia-sia itu dan bangun dari mimpimu.,” ia berceloteh menasihati.
Puteri duyung tetap tersipu. Joon Jae kembali ke kamar mandi sambil bergidik. Tapi diam-diam ia mengagumi wajah dan penampilannya sendiri di cermin.
Ponsel Joon Jae tiba-tiba berbunyi. Puteri duyung melihatnya dengan penasaran dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan benda yang berbunyi itu.
Cha Shi Ah (Shin Hye Sun) menutup telepon dengan kecewa karena Joon Jae tidak mengangkat teleponnya. Ini bukan pertama kalinya Joon Jae tidak mengangkat telepon. Apakah ia pernah menjadi korban Joon Jae?
Ternyata ia dan Joon Jae sama-sama pernah kuliah di KAIST (universitas science ternama di Korea). Kakak iparnya, Ahn Jin Joo (Moon So Ri) meledeknya karena lagi-lagi teleponnya tidak diangkat. Sepertinya mereka tidak memiliki relasi yang baik meski tinggal serumah.
Shi Ah berkata ia akan bekerja semalaman di lab karena ada barang penting yang baru saja masuk. Ia adalah seorang peneliti dalam ilmu konservasi (penelitian dan pemeliharaan barang-barang arkeologi). Keluarganya kecewa karena mereka menginginkan Shi Ah menjadi dokter. Shi Ah menganggap pekerjaannya melestarikan warisan budaya adalah pekerjaan yang penting, tapi Jin Joo tidak menganggapnya demikian. Shi Ah pergi tanpa meladeni kakak iparnya lagi.
Mo Yoo Ran (Na Young Hee), asisten rumah tangga keluarga Shi Ah, mendengar percakapan mereka. Ia berkata puteranya juga pernah kuliah di sana. Jin Joo bertanya apakah itu putera yang sama yang selalu dibanggakan Yoo Ran karena sangat tampan.
“Benar, ketika anakku masih kecil matanya sangat indah. Ketika aku membawanya jalan-jalan, sulit untuk berjalan sepuluh langkah berurutan karena orang-orang selalu bertanya apakah mereka boleh menggendongnya dan menyentuhnya,” Yoo Ran bernostalgia.
Tampaknya Jin Joo tidak percaya. Ia berkata seekor naga tidak datang sungai kecil (orang hebat tidak datang dari keluarga miskin). Yoo Ran tidak kelihatan tersinggung tapi ia berkata puteranya datang dari laut yang sangat luas dan biru (hm....keluarga sangat kaya?).
Jin Joo bertanya memangnya Yoo Ran memiliki latar belakang hebat yang tidak ia ketahui. Yoo Ran terdiam dan memilih untuk melanjutkan tugasnya. Sepertinya ia memang menyimpan suatu rahasia.
Jin Joo mendapat telepon dari temannya dan tertawa saat mendengar salah satu temannya ditipu orang. Pasti bukan teman dekat ;p
Dan temannya itu tak lain adalah nyonya kaya korban terakhir Joon Jae. Ia ternyata pimpinan mafia dan sangat marah karena rumor mengenai dirinya tertipu telah beredar di mana-mana. Namanya yang sangat berpengaruh sekarang tidak bisa ia gunakan di manapun.
“Kalau begitu ganti saja namamu, paling hanya semniggu,” suaminya mengusulkan.
Istrinya langsung bangkit berdiri sambil membentaknya. Para anak buahnya langsung berlutut. Untungnya nyonya kaya itu dapat menenangkan dirinya kembali. Ia memerintahkan anak buahnya untuk menangkap para penipunya karena sudah mengacaukan hidup anaknya, membuat anaknya malu, dan membuat suaminya diaudit.
Terutama si penipu yang menyamar jadi penuntut umum, alias Joon Jae. Hidup atau mati. Bahkan suami dan anak buahnya terkejut mendengar perintah tersebut.
Joon Jae sedang serius menonton di laptop ketika tiba-tiba puteri duyung muncul di belakang dengan pandangan terpaku pada layar. Ia sudah berganti pakaian dengan kemeja yang dipinjamkan Joon Jae. (harga gaun pink yang dikenakannya sebelumnya harganya hampir 75 juta rupiah lho...tapi kok lebih pas pakai kemeja ya XD)
Dengan mata tak beralih dari layar, puteri duyung memanjat sofa dan duduk di sebelah Joon Jae. Joon Jae menaruh laptopnya di meja dan langsung disambar oleh puteri duyung. Joon Jae tadi sedang menonton film Kang Dong Won dan sekarang puteri duyung sedang berusaha mengeluarkan Kang Dong Won dari layar dengan cara diguncang-guncang, dibolak-balik dan ditepuk-tepuk.
Joon Jae mengira puteri duyung adalah fans gila pria berwajah cantik. Ia menyerah dan menyuruh puteri duyung menonton sesuka hatinya sementara ia pergi tidur.
Maka semalaman puteri duyung tertawa, menangis, cemberut di depan laptop. Ayo siapa yang kaya gitu kalau nonton kdrama sendirian? *ngacung*
Ia menonton film Bruce Lee dan meniru gerakannya, lengkap dengan suara dan pekikan khasnya. Ia juga menonton acara belajar bahasa Korea. Ia nampak tenang dan lebih serius ketika melihat acara dokumenter tentang laut. Ia menyentuh layar seakan merindukan tempat itu. Judul acara itu The Legend of The Blue Sea.
Keesokan paginya Joon Jae bangun dan menemukan puteri duyung masih di ruang tamu menatap layar laptop yang kali ini dihiasi wajah Jo In Sung dan So Ji Sub (Memories of Bali). Puteri duyung menoleh dengan wajah kuyu dan mata panda.
Joon Jae ternganga. Ia hendak mengambil kembali laptopnya tapi puteri duyung memeganginya erat-erat dan tidak mau menyerahkannya.
Nam Doo menelepon dan memberitahu kalau ada masalah besar. Ia berkata korban mereka ternyata menakutkan. Mereka adalah mafia dan sedang mengirim anak buah mereka. Biasanya mereka tidak mengirim orang keluar negeri terutama tiket pesawat sedang mahal. Berarti mereka sangat marah.
“Kak, apa kau ketahuan?” tanya Joon Jae kaget.
“Bukan, kau! Mereka bilang kau yang ketahuan. Apa kau menggunakan ponsel yang lama? Kenapa kau melakukannya pada jaman global seperti ini? Kau pasti terlacak melalui GPS,” kata Nam Doo sambil dengan santai meneruskan golf-nya.
Joon Jae jadi panik dan menutup telepon. Sebelum itu Nam Doo sempat meminta Joon Jae mengirim gelang giok itu padanya. Tapi Joon Jae tidak mempedulikannya dan langsung menutup telepon.
Ia bergegas mengemas-ngemas barangnya dan mengambil laptopnya. Ia berkata pada puteri duyung kalau sudah saatnya mereka berpisah dan menyuruh puteri duyung mengingat-ingat di mana rumahnya. Jika masih tidak ingat juga sebaiknya meminta bantuan pemerintah setempat.
Puteri duyung bengong ditinggal sendirian. Tapi beberapa detik kemudian Joon Jae kembali dengan panik. Rupanya komplotan mafia itu sudah tiba. Joon Jae menenangkan dirinya agar bisa keluar dari krisis ini. Ia mendapat ide saat melihat jam meja dan pemadam api.
Para mafia menemukan kamar Joon Jae setelah mencari-cari di kamar lain. Mereka menerobos masuk dan langsung tiarap begitu melihat bom waktu di atas meja dengan waktu tersisa beberapa detik.
3....2....1...musik alarm mengalun. Sadar telah tertipu para mafia melihat ke luar. Ada untaian seprai dari balkon ke bawah. Mereka segera lari mengejar.
Joon Jae melarikan diri menyusuri pantai sambil berpegangan tangan dengan puteri duyung. Wajah Joon Jae panik ketakutan sementara puteri duyung nampaknya menikmati jalan-jalannya ini.
Mereka hampir tertangkap ketika menaiki jalanan dari batu. Puteri duyung cemberut karena orang-orang itu hendak menangkap Joon Jae. Dengan enteng ia menarik salah satu dari mereka lalu melemparnya.
Joon Jae menemukan sepeda dan memutuskan menggunakannya untuk melarikan diri. Ia menyuruh puteri duyung duduk di belakangnya. Lalu ia mengayuh secepat mungkin. Puteri duyung malah terlihat bahagia. Ia melambai-lambai pada penduduk setempat, memetik bunga, dan terus tersenyum. Ini kabur atau lagi syuting iklan sih^^
Ia cemberut ketika para mafia itu bersepeda menyusul mereka. Ia menendang mereka atau memukul mereka satu per satu tanpa sepengetahuan Joon Jae. Joon Jae mengira mereka jatuh karena tendangan dan pukulannya. Ia berpikir para mafia itu berhenti mengejar berkat kecepatannya bersepeda. Pokoknya mereka lolos karena berkat dirinya.
Tiba-tiba para mafia berteriak dari jembatan di atas mereka. Mereka pun melarikan diri. Tapi di depan mereka adalah tangga menurun yang sangat panjang. Joon Jae turun untuk menghentikan sepeda, tapi sebenarnya puteri duyunglah yang mencegah mereka jatuh karena ia memegangi sepeda mereka.
Joon Jae menuntun puteri duyung menuruni tangga tapi mereka dihadang tiga mafia yang datang dengan mobil. Joon Jae menyuruh puteri duyung berlindung di balik tembok sementara ia menghadapi para mafia. Perkelahian tak terelakkan.
Sementara itu pada mafia yang mengejar mereka dengan berlari dan bersepeda pun sudah tiba dan jumlah mereka lebih banyak. Puteri duyung melawan mereka. Lebih tempatnya melempar mereka.
Ia meniru gaya berkelahi Bruce Lee yang semalam ditontonnya. Ia sanggup mengelak dan menjatuhkan mereka. Bukan hanya dengan jurus yang tepat tapi dengan kekuatan super puteri duyung.
Joon Jae juga berhasil mengalahkan ketiga lawannya dan bersorak gembnira. Haha...sayangnya ia tidak melihat para mafia lain yang pingsan dan nyangkiut di balkon-balkon.
Kemenangan mereka tidak berlangsung lama karena bos mafia itu muncul dengan mengacungkan senjata. Joon Jae terpaksa mengangkat kedua tnagannya. Diam-diam ia mengambil pemantik apinya lalu memainkannya untuk menghipnotis si bos. Lalu mengacungkan pematik itu seperti mengacungkan senjata api.
“Kau akan menjatuhkan senjatamu,” katanya.
“Kau mau mati?” ujar si bos.
“Aku tahu seseorang bisa jadi bos pasti ada alasannya. Kau memiliki mental yang kuat,” puji Joon Jae setelah menyadari rencananya tak berhasil.
Bos itu berkata jika ia menembak Joon Jae di sini maka polisi setempat akan berdatangan dan keadaan akan semakin rumit. Joon Jae berkata ia tidak suka kerumitan. Bos itu menyuruh Joon Jae naik ke mobil. Joon Jae menurut. Ia bahkan membantu para mafia yang tadi ia kalahkan dan masuk ke dalam mobil.
Puteri duyung heran melihat yang terjadi. Ia berlari ke arah mobil. Joon Jae memberi isyarat dengan menggeleng. Ia tidak mau puteri duyung mengikutinya.
Tapi tak lama kemudian para mafia itu menyadari ada yang mengejar mereka. Puteri duyung yang bersepeda. Dan ia bersepeda lebih cepat daripada mobil.
Joon Jae ikut terbengong-bengong melihat puteri duyung. Bos menyuruh supirnya tancap gas tapi puteri duyung berhasil melewati mereka dengan mudah dan menghadang mereka. Joon Jae sendiri berhasil melepaskan ikatannya. Ia berusaha merebut kemudi. Mobil bergerak tak terkendali hingga menabrak boks telepon umum.
Ia berhasil merebut senjata dan keluar dari mobil. Ia langsung naik ke sepeda. Tapi para mafia tidak menyerah. Mereka terus mengejar hingga ke taman berbentuk maze. Joon Jae menyuruh puteri duyung mengikutinya agar tidak tersesat. Jika mafia menemukan mereka, ia akan melawannya. Pokoknya puteri duyung hanya perlu melarikan diri.
Ketika ia menoleh, puteri duyung tidak ada di sana. Rupanya puteri duyung memutuskan untuk menghadapi mereka sendiri. Dalam sekejap terlihat para mafia beterbangan di atas taman. Heh....puteri duyung kok dilawan XD
Setidaknya Joon Jae tidak berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dan kembali untuk mencari puteri duyung. Puteri duyung tiba-tiba muncul di hadapannya setelah membereskan semua mafia itu. Ia baik-baik saja, hanya beberapa helai rambut mengotori kepalanya.
Lalu tanpa bicara, ia menuntun Joon Jae keluar dari taman itu. Joon Jae bingung sekaligus takjub melihat puteri duyung bisa menemukan jalan keluar. Ia tersenyum lalu membersihkan daun-daun yang tersangkut di kepala puteri duyung. Puteri duyung tersenyum.
Mereka kembali ke kota dengan bersepeda santai. Di alun-alun, puteri duyung turun sendiri dari sepeda karena tertarik melihat anak-anak antri di depan roda es krim. Joon Jae tersenyum melihatnya.
Tapi setelah mendapatkan es krimnya, puteri duyung langsung berbalik pergi. Kontan penjual es krim menariknya dan menuntut pembayaran. Joon Jae segera menghampiri tapi uangnya tidak cukup. Ia melarikan diri tanpa membawa apapun. Untunglah penjual es krim melepaskan mereka meski terus mengomel.
Puteri duyung mencoba es krimnya dan langsung jatuh cinta. Sementara itu Joon Jae menelepon temannya (dengan telepon umum) yang tinggal di sana untuk meminta bantuan karena ia tidak membawa uang, kartu kredit, maupun ponsel. Temannya dengan senang hati mengundang Joon Jae untuk datang. Ia terkejut saat mendengar di mana temannya tinggal.
Mereka pergi ke sebuah gereja di tepi pantai. Begitu masuk aula gereja, seseorang menyapa Joon Jae.
“Pendeta Heo No Ah?” tanyanya.
Joon Jae berpikir cepat dan langsung mengikuti sandiwara temannya sementara pendeta dan jemaat gereka melihat mereka. Mereka berpelukan. Joon Jae berbohon terakhir kali mereka bertemu adalah 2 tahun lalu di Libya.
Teman Joon Jae memperkenalkan Joon Jae sebagai penginjil Heo No Ah yang sudah dianggapnya saudara kepada pendeta gereja tersebut. Ia berkata Joon Jae sekarang melayani di Kenya Afrika untuk menyelamatkan bayi gajah dan membuat sumur.
Pendeta dan jemaat kagum mendengar penuturan teman Joon Jae. Lalu mereka melihat bingung pada puteri duyung yang sejak tadi berdiri mematung di sebelah Joon Jae. Joon Jae menggenggam tangan puteri duyung.
“Ini adalah istri (wife) ku. Ia mengalami kecelakaan beberapa tahun lalu hingga jiwanya terganggu,” katanya dengan raut wajah sedih.
Para pendeta dan jemaat langsung bersimpati. Joon Jae makin mendalami perannya agar makin meyakinkan.
“Dia pasti sangat shock. Dia mengalami aphasia (tidak bisa mengenali wajah orang) dan tidak bisa berbicara....entah kapan aku bisa mendengar suara istriku lagi?” Joon Jae pura-pura menangis.
“Halo, senang bertemu dengan kalian. Cuacanya cukup panas,” tiba-tiba puteri duyung berbicara.
Hening......
Joon Jae membawa puteri duyung keluar dan menegurnya karena tiba-tiba berbicara.
“Kau bilang kau ingin mendengar suaraku,” jawab puteri duyung. “Tapi, istri (wife) itu apa? Kau bilang aku istrimu.”
“Oh, bukan apa-apa. Itu artinya teman...teman,” Joon Jae menegaskan. Ia masih kesal karena puteri duyung tidak berbicara selama ini padahal bisa berbicara.
Puteri duyung mengakui sampai kemarin ia mengalami kesulitan untuk berbicara, tapi ia bisa menguasai bahasa berkat kotak yang diberikan Joon Jae. Alias laptop. Ternyata semalaman ia terus mendengar pelajaran bahasa Korea dari laptop.
Terdengar tidak masuk akal memang, tapi Joon Jae tidak punya waktu untuk memikirkan itu karena tiba-tiba puteri duyung mengamati wajahnya dengan seksama.
“Apa yang kaulihat?”
“Bola matamu. Tinta di bola matamu. Bersinar.”
“Mataku selalu bersinar seperti ini,” narsisnya Joon Jae kambuh.
“Cantik.”
“Benar, kan? Mataku selalu cantik. Ibuka bilang sulit untuk pergi sejauh 10 langkah saja bila ia membawaku keluar karena orang-orang selalu bertanya apakah mereka bisa menyentuh atau menggendongku.” Hmmm...kata-kata yang sama dengan Yoo Ran...
Joon Jae membetulkan perkataan puteri duyung kalau bola mata hanya disebut mata dan pupil mata bukan tinta. Ia berkata kemampuan menyerap puteri duyung sangat luar biasa.
Setelah itu Joon Jae bertemu dengan temannya dan bertanya apakah temannya sudah mempersiapkan semua yang ia minta. Temannya mengiyakan. Mereka kan sama-sama anggota CMC (Penipu dari Klub Mensa – Mensa adalah organisasi berisi orang-orang jenius). Tapi ia tidak melakukannya dengan gratis.
Teman Joon Jae ada di gereja ini untuk menipu uang para jemaat di sana. Ia bersama para anggota timnya sudah mempersiapkan rencana untuk membuat para jemaat itu mau memberikan uang mereka. Dan tugas Joon Jae adalah menyanyikan sesuatu yang menyentuh hingga mengaburkan rasionalitas mereka.
Joon Jae terpaksa mengikuti rencana temannya. Ia menyanyikan sebuah lagu rohani tentang kasih (saranghae). Para jemaat terharu hingga ada yang meneteskan air mata dan mereka memberikan persembahan (uang) mereka. Puteri duyung ikut dalam deretan jemaat dan merasa tersentuh.
Pendeta berbaik hati memberikan kamar untuk menginap bagi Joon Jae dan puteri duyung. Mereka juga diberi pakaian ganti. Puteri duyung berkata ia merasa haus. Pendeta menunjuk dispenser di ujung ruangan. Sementara puteri duyung berjalan ke dispenser, pendeta berkata pada Joon Jae kalau ia sangat bersyukur karena istri Joon Jae bisa berkomunikasi dengan dunia lagi.
“Aku tahu. Tolong doakan tubuh dan hati istriku yang rapuh...” ia terdiam saat melihat puteri duyung meminum air langsung dari galonnya sampai habis. Ia berkata sepertinya istinya sudah sangat kuat. Pendeta tertawa gembira.
Karena hanya ada satu tempat tidur kecil, Joon Jae memilih tidur di lantai. Ia masih tak habis pikir bagaimana caranya puteri duyung meminum air sebanyak itu. Puteri duyung bertanya apa itu cinta (saranghae).
“Tadi kau menyanyikan bahwa yang terbesar dari semua adalah kasih/cinta. Cinta itu apa?”
“Cinta itu sesuatu yang cukup berbahaya. Lebih baik seseorang sepertimu tidak melakukannya.”
Puteri duyung malah makin penasaran. Ia turun dari tempat tidur dan bertanya kenapa.
“Anggap saja kau mencintai seseorang. Itu artinya kau menyerah.”
“Menyerah itu apa?”
“Kalah. Kau kalah. Jika kau mencintai seseorang, maka kau akan mempercayai semua yang ia katakan. Artinya kau berada dalam masalah besar. Jadi sebaiknya kau mengatakan hal semacam itu pada seseorang atau tidak?”
“Saranghae,” kata puteri duyung sambil tersenyum.
Joon Jae terdiam sesaat. Lalu ia memarahi puteri duyung karena mengatakan itu padahal ia sudah melarangnya. Puteri duyung cemberut dan berkata ia lapar. Air segalon ngga bikin kenyang rupanya^^
Joon Jae membawanya ke kantin gereja dan memasakkan ramyun. Ia memperhatikan puteri duyung yang asyik makan dan berkata sepertinya puteri duyung terkena amnesia hingga tak ingat sesuatu.
Ia mencoba menghipnotis puteri duyung dengan menyuruhnya menatap matanya. Malah ia yang jadi grogi.
“Tarik nafas dalam-dalam dan pikirkan orangtuamu dalam hitungan ke-3. Satu...dua...” Joon Jae memainkan pemantik apinya. Tiga!
“Orang tua itu apa?”
“Apa kau bodoh? Kau bahkan tidak tahu orangtua itu apa? Ibumu, ayahmu, orang yang melahirkanmu.”
Dengan ringan puteri duyung berkata ia tidak memiliki orangtua. Dan balik bertanya apakah Joon Jae memiliki orangtua.
“Aku memiliki ayah yang kuanggap tidak ada. Ibuku...kuharap aku punya. Karena itu aku pergi ke ujung dunia,” kata Joon Jae dengan raut wajah sedih. “Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Aku tidak punya nama.”
Joon Jae tersenyum dan berkata ia bahkan tidak lagi terkejut mendengar jawaban itu karena begitu banyaknya hal aneh dari puteri duyung.
“Jika aku tidak aneh dan memiliki nama, aku bisa bersamamu setiap waktu, iya kan?” tanya puteri duyung sedih.
Joon Jae menghiburnya dengan berkata yang ia maksud adalah begitu banyak orang aneh di dunia ini dan puteri duyung tidak termasuk di antaranya.
“Akulah yang benar-benar orang aneh,” ujarnya serius.
“Kau orang yang baik,” kata puteri duyung dengan tulus.
Joon Jae tersenyum tak percaya. Ia berkata bagaimana puteri duyung bisa tahu orang seperti apa dia.
“Kau bisa meninggalkanku berkali-kali, tapi kau memegang tanganku. Kau adalah orang baik.”
Joon Jae menunduk dan terlihat tak nyaman dengan kata-kata itu. Semalaman ia tidak bisa tidur. Akhirnya ia memakaikan gelang giok yang telah dicurinya ke tangan puteri duyung yang tertidur lelap.
“Aku sudah berkali-kali mengambil dan melarikan diri, tapi ini pertama kalinya aku mengembalikan apa yang sudah aku ambil. Baiklah, mari kita pergi bersama....ke ujung dunia.”
Sayangnya, para mafia menggeledah barang-barang Joon Jae dan menemukan gambar Menara Hercules. Mereka menduga tempat itu tujuan Joon Jae berikutnya.
Keesokan paginya, Joon Jae berpamitan pada temannya. Temannya berterima kasih karena berkat Joon Jae banyak jemaat yang memberikan uang. Ia berusaha mengajak puteri duyung berkenalan lebih jauh karena puteri duyung adalah tipenya. Ia berkata mereka bisa bertemu di Seoul kapan-kapan.
“Seoul itu di mana?” tanya puteri duyung polos.
Joon Jae tertawa agar temannya menganggap puteri duyung hanya bergurau. Lalu ia cepat-cepat mengajak puteri duyung pergi.
Pendeta keluar dari gereja dan berterima kasih pada teman Joon Jae. Teman Joon Jae merendah dan berkata ia tidak melakukan apapun. Pendeta mengeluarkan segepok uang dan berkata uang itu diberikan oleh Penginjil Heo (alias Joon Jae) untuk membantu sekolah anak-anak.
Teman Joon Jae langsung menangis menyadari Joon Jae telah menipunya dengan menyerahkan semua uang yang mereka peroleh semalam pada pendeta tersebut. Di sela tangisnya ia bertanya apakah ia benar-benar tidak boleh membunuh musuh.
Joon Jae tertawa saat mendengar laporan Nam Doo mengenai teman mereka yang marah-marah itu. Sebelum menutup telepon, Joon Jae berkata sampai jumpa di Seoul.
“Kenapa semua orang berkata sampai bertemu di Seoul? Seoul itu di mana?” tanya puteri duyung. Ia bertanya apakah Joon Jae akan ke sana.
Joon Jae mengiyakan karena di situlah tempat ia tinggal. Puteri duyung menatap lautan luas di hadapannya lalu memejamkan matanya.
Mereka tiba di Menara Herkules. Joon Jae menjelaskan tempat ini disebut ujung dunia sejak dibangunnya mercusuar (menara Herkules) 2000 tahun lalu.
“Kenapa disebut ujung dunia padahal ada lautan?” tanya puteri duyung. “Lautan dimulai dari sini.”
Joon Jae teringat ketika kecil ia dibawa ibunya ke tempat ini. Ibunya mengatakan tempat ini disebut ujung dunia dan mercusuar itu menerangi dunia. Ibu Herkules dulu datang setiap hari ke tempat itu karena merindukan puteranya. Orang-orang merasa kasihan padanya dan membangun mercusuar itu agar Herkules bisa menemukan jalan pulang dengan mengikuti cahaya mercusuar itu melalui laut.
Joon Jae kecil bertanya apakah Herkules akhirnya menemukan ibunya. Ibu Joon Jae berkata ia tidak tahu tapi ada legenda kalau orang-orang yang berpisah di sini pasti akan bertemu kembali.
“Mungkin karena meski ini ujung dunia, tapi juga awal dari dunia yang lain.”
“Tapi Bu, kurasa Herkules juga sangat merindukan ibunya,” kata Joon Jae kecil sambil mengukir namanya pada sebuah batu. Ibunbya tersenyum.
Sekarang tulisan itu sudah tertimpa oleh banyak tulisan lainnya. Ia memperlihatkannya pada puteri duyung.
“Namaku adalah Heo Joon Jae. Tidak banyak orang yang tahu nama asliku. Kau seharusnya merasa terhormat.”
Puteri duyung bertanya apakah orang yang berpisah di sini benar-benar bisa bertemu kembali. Joon Jae merasa itu bohong. Ia terpisah dengan ibunya di tempat ini tapi sampai sekarang ia belum bertemu lagi dengannya.
Kilas balik: Joon Jae kecil menangis mencari-cari ibunya. Lalu ia dibawa pergi oleh seorang pria berpakaian resmi.
“Ibuku pergi tanpa berpamitan...tanpa sopan santun,” ujar Joon Jae getir.
Puteri duyung melihat batu yang lain dan menemukan nama Heo Joon Jae di sana. Tulisan itu dibuat oleh ibunya sambil menangis setelah berpisah dengan Joon Jae. Joon Jae menyadari kalau ibunya sesungguhnya berpamitan padanya.
“Apa yang dikatakan ibumu?”
“Ia mencintaiku.”
“Ia mencintaimu? Jadi ia kalah? Ia menyerah?”
Joon Jae tertawa dan berkata ibunya benar-benar kalah dan menyerah. Puteri duyung tersenyum. Dan kali ini Joon Jae terpesona dengan senyum itu.
Kegembiraan mereka tak berlangsung lama karena mafia tiba di tempat itu. Joon Jae mengeluarkan senjata api yang ia rebut saat ia melarikan diri. Para mafia itu malah mengeluarkan senapan mereka.
Joon Jae kembali membawa puteri duyung melarikan diri. Para mafia itu mulai menembaki mereka. Akhirnya mereka terkepung. Dan tak ada jalan keluar karena mereka berada di tebing tinggi yang berbatasan dengan laut.
Joon Jae melepaskan senjatanya dan mengangkat tangannya tanda menyerah. Ia meminta mereka melepaskan puteri duyung karena ia tidak ada hubungannya dengan semua ini sama sekali. Bos mafia tidak percaya. Jika tidak ada hubungannya kenapa puteri duyung begitu gigih mengikuti Joon Jae kemarin.
Joon Jae menunjukkan gelang giok yang dipakai puteir duyung. Ia berkata gelang itu murah tapi ia mencurinya jadi outeri duyung terus mengikutinya. Ia lalu mendorong puteri duyung dan menyuruhnya pergi.
“Kenapa?” tanya puteri duyung polos, “Aku kan istrimu.” Pfft...
Bos mafia terteriak marah karena lagi-lagi Joon Jae menipu mereka. Ia meraih senapan dan siap menembak. Joon Jae berusaha menjelaskan tapi ia sudah tidak dipercaya lagi. Ia berbisik pada puteri duyung seharusnya ia pergi saat ia menyuruhnya pergi. Sekarang apa yang akan mereka lakukan?
Puteri duyung melihat ke laut di bawah mereka. Joon Jae mengerti puteri duyung mengusulkan untuk melompat. Ia langsung menolak karena ia takut ketinggian dan takut air. Lebih baik ia ditembak ringan.
“Tidak boleh ditembak. Kau akan mati seperti lumba-lumba,” kata puteri duyung.
“Iya, tapi aku juga akan mati tenggelam,” kata Joon Jae. Ia ingin mencoba membujuik para mafia itu.
Tapi puteri duyung melihat bahwa mafia itu sudah siap menembak. Ia langsung meraih tangan Joon Jae dan menariknya. Mereka melompat dari tebing dan masuk ke air. Bos mafia berteriak kaget. Bagaimana memastikan Joon Jae masih hidup atau sudah mati?
Joon Jae langsung tenggelam. Puteri duyung kembali ke wujud aslinya dan berenang untuk menyelamatkan Joon Jae. Joon Hae membuka matanya dan mengetahui siapa puteri duyung sebenarnya. Ia baru menyadari apa maksud semua sikap dan kata-kata puteri duyung selama ini.
Puteri duyung lalu mencium Joon Jae. Er...atau memberi bantuan pernafasan? Mana aja boleh ;p
Epilog:
Shi Ah membersihkan sebuah artifak keramik. Ia terkejut saat mendapati gambar yang terlukis pada keramik itu adalah lukisan puteri duyung mencium seorang pria berpakaian modern.
Komentar:
Aku menyukai ada kisah paralel antara 430 tahun lalu dan apa yang terjadi sekarang, tapi dengan suasana yang berbeda. Dam Ryeong dan Joon Jae sama-sama menemukan kalau puteri duyung sebenarnya bisa berbicara. Pada Dam Ryeong, puteri duyung berkata ia sebenarnya berbicara tapi tidak didengar. Sementara pada Joon Jae, puteri duyung berbicara karena Joon Jae ingin mendengar suaranya.
Dari perkataan puteri duyung pada Dam Ryeong, sebelumnya ia pernah mengenal manusia lain namun sepertinya tidak berakhir dengan baik. Jika memang seperti kata nelayan tersebut kalau takdir mereka akan terus berlanjut, apakah Dam Ryeong juga merupakan reinkarnasi (atau mungkin keturunan) dari anak laki-laki yang pernah dikenal puteri duyung?
Aku juga agak bertanya-tanya apakah puteri duyung 430 tahun lalu sama dengan puteri duyung masa sekarang, karena kok sikapnya beda banget ya XD Dan apakah ia tidak mengenali Joon Jae yang sangat mirip dengan Dam Ryeong? Mungkin waktu 400 tahun telah membuatnya lupa wajah Dam Ryeong?
Tapi jika seperti yang teman-teman katakan kalau gelang itu adalah peninggalan Dam Ryeong yang sengaja disimpan puteri duyung, artinya selama ini ia selalu mengenang Dam Ryeong. Rasanya aneh kalau ia sampai lupa wajahnya sama sekali.
Meski adegan kejar-kejaran dengan mafia cukup lucu, tapi menurutku terlalu panjang ;p Yah, setidaknya itu membuat Joon Jae makin mengenal puteri duyung dan memutuskan untuk mengembalikan gelangnya.
Aku juga agak bingung dengan ibu Joon Jae dan Yoo Ran. Keduanya diperankan oleh artis yang berbeda hingga kita belum tahu apakah Yoo Ran memang ibu Joon Jae yang sudah menua hingga diperankan artis lebih senior, atau keduanya orang yang berbeda. Dugaanku sih yang pertama. Jika itu benar, berarti ibu Joon Jae selama ini mengikuti perkembangan Joon Jae.
Jangan-jangan Joon Jae sebenarnya chaebol juga ya...soalnya ia dibawa pergi orang berpakaian resmi. Dan ia menipu orang-orang kaya mungkin sebagai caranya untuk memberontak pada ayahnya? Buktinya ia mengembalikan uang para jemaat gereja yang sudah ditipu temannya.
Dan terakhir, aku bertanya-tanya seberapa lama puteri duyung bisa tinggal di darat? Lalu seberapa banyak air yang bisa membuatnya berubah wujud? Dulu aku pernah menonton film indonesia tentang puteri duyung (pemerannya Ayu Azhari). Dalam film itu, lututnya terkena air dan muncul sisik ikan duyung di bagian lutut. Ia harus mengeringkan lututnya dengan segera agar sisik itu menghilang. Bagaimana dengan puteri duyung kita? Bayangkan kalau ia mandi...atau ia tidak pernah mandi? XD
Btw…kapan ya puteri duyung dapet nama…biar lebih singkat ngetiknya hehehe…
Note: SBS mengeluarkan versi Director’s Cut pada hari minggu kemarin selama 16 menit. Delapan menit untuk masing-masing episode. Tapi aku belum menemukan subtitlenya. Salah satu adegannya adalah Joon Jae mengajari puteri duyung agar bisa memegang sumpit, karena itu ia bisa makan ramyun. Lalu ada adegan teman Joon Jae mencoba perayu puteri duyung dan mengedipkan matanya. Puteri duyung berusaha mengedip juga.
Yg paling aku suka dari sinop mba fanny itu CELOTEHAN nyaaaa ๐๐๐๐semangatt eonni...!!!!!!!
BalasHapusAkhirnya mba fanny kembali bikin sinopsis lagi.
BalasHapusSebenarnya ceritanya hampir kaya "my love from the star", seperti yang mba fanny bilang. cuma bedanya kalo di MLFTS yang hidup ratusan tahun adalah "Sang Pria".
Berharap sih akhirnya akan Happy Ending kaya MLFTS.
Baru aja tamat episode 2 eh Teh Fanny udah muncul dg sinopnya yg malah krasa lebih rame dr dramanya hehe...lanjut ke epi 3 ya teh....semangat trus tetehku....
BalasHapusSemuanya terjawab di episode 3 unnie fanny... ^^
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar eonni diakhir sinopsis malah kek tebak tebakan hahaha.... Tambah bikin penasaran :)
BalasHapusEpsd,, INI kocak bngt oppa Lee disini krakte'a beda bngt dr yg udh" suka bngt lia'a g brnti ketwa liat onie Jun jhi yhun pas nnton leptop sama dikejar mafia,, suka bngt pokok'a ama drama ini๐๐
BalasHapusMba fanny gomawo sisnopsis Bantu bngt aku jd tmbah ngrti sama jln cerita drama Karna mba fan fighting๐ช๐๐๐
BalasHapusAku ga sengaja nemu sinopsis ini di Mbah Google. Makasih yah ternyata ini udah 4 th lalu. Ga papa masih enak kok nontonnya. Apalagi ini lg di puter di Indosiar tiap hari pukul 21.00 WIB.
BalasHapus